HATE That I LOVE YOU [Part 5]

Cerita sebelumnya:

Ann sangat marah saat tiba-tiba Aiden muncul di hadapannya dan Jane Adams, lalu seenaknya saja menyatakan bahwa dirinya setuju menghadiri pesta ulang tahun gadis itu bersama Ann. Namun sayangnya, Aiden hanya berniat menggoda Ann saja. Pria itu beranggapan bahwa Ann adalah gadis yang menarik karena kebenciannya pada pria-pria Asia seperti dirinya. Dan pria itu berniat untuk merubah persepsi Ann terhadap pria Asia. Namun sayang, niatnya menggoda Ann justru membuatnya merasa bersalah saat mengetahui Jane Adams hanya memanfaatkan gadis itu agar dapat lebih mengenal dirinya.


Part 5

 

 

-Annabelle Parker, Camberwell College of Art-

 

Hari ini jam kuliah Mr. Freddickson berakhir lebih awal. Pria bertubuh gempal itu terpaksa menyelesaikan kuliahnya 15 menit lebih awal karena akan menghadiri rapat dosen awal semester yang akan dilaksanakan 5 menit lagi. Seperti yang sudah diduga, teman-teman sangat senang karena sesaat lagi mereka bebas berkeliaran di penghujung Minggu ini. Yeah, sekarang hari Jumat. Diskon waktu 15 menit pun sangat berarti bagi mereka yang merencanakan liburan akhir Minggu bersama orang spesial masing-masing.

Ketika tengah memasukkan beberapa buku ke dalam tas, aku dikejutkan dengan tepukan pelan di bahu kiriku. Jane Adams. Pasti ia berniat mengingatkanku lagi tentang pesta itu. Dan sialnya hal itu cukup untuk menimbulkan kembali amarahku pada perbuatan Aiden dua hari yang lalu. Well, walau aku sempat terkejut saat kemarin ia datang ke rumahku untuk meminta maaf. “Jangan lupa besok!” tukasnya senang sembari mengangsurkan sebuah undangan berwarna pastel padaku.

Tsk, dipikirnya aku akan datang. Biarkan saja si pangeran berkuda putihnya itu yang datang sendiri. Pasti ia akan lebih senang tanpa kehadiranku. “Kau berikan saja undangan itu pada Aiden,” balasku ketus lalu pergi begitu saja tanpa mempedulikannya yang terus memanggilku.

Oh… sial! Baru saja bebas dari desakan Jane Adams, kini bisa kulihat sosok Aiden tengah duduk di kursi panjang tepat di samping kelasku. Apa yang dilakukannya di sini? Tidak mungkin ia menungguku. Ada perlu apalagi sebenarnya? “Hai Ann!” tanpa repot-repot menoleh kuhentikan langkahku tepat di hadapannya, “Aku butuh bantuanmu.” Hmm… benar dugaanku. Ia di sini untuk meminta bantuan. Apalagi yang diinginkannya kalau bukan itu?

“Bantuan apa lagi?” balasku setengah tak tertarik. Walau kemarin aku bilang telah memaafkannya. Tapi tetap saja perbuatannya itu membuatku kesal.

Aku beringsut mundur saat tiba-tiba ia maju selangkah ke arahku. Apa yang sebenarnya diinginkan pria-Asia sialan ini? Oh… Tuhan! Dia kembali memamerkan senyumnya yang selalu membuat sesuatu dalam diriku bergetar hebat. Sial! Sepertinya dia sudah sangat paham dengan kelemahanku ini. “Aku tak punya pakaian yang cocok untuk kugunakan ke pesta Miss Adams, maukah kau mengantarku berkeliling—“

“Kenapa tak kau ajak sepupumu itu?” Kupotong ucapannya cepat. Rasanya aku jengah hanya karena ia terlalu menggantungkan diri padaku. Sudah lebih dari satu Minggu ia tinggal di negara ini. Kenapa masih saja menggangguku dengan hal-hal semacam ini? Menyebalkan! Bukankah ia punya saudara yang bisa mengantarnya? Kenapa ia harus selalu merepotkanku?

Kulihat ia memutar bola matanya cepat. Sepertinya ia sibuk mencari alasan tepat untuk meyakinkanku. Menyedihkan! “Dia sedang sibuk dengan kegiatannya.”

“Kalau begitu, pergi saja sendiri!” balasku ketus lalu melangkah pergi meninggalkannya. Lama-lama di sini, membuat dadaku sesak. Tapi sialnya, baru beberapa langkah aku berjalan. Tangannya yang besar itu menahan lenganku.

“Tapi kau tau aku belum mengenal tempat ini,” bantahnya cepat. Alasan!

Aku mendengus kesal, “Tapi kemarin kau sudah bisa ke rumahku sendiri Mr Lee!” aku mencoba mengingatkan.

“Ann, kau lupa tugas yang diberikan Mr Freddickson padamu?” Sial! Kenapa ia mengungkit-ungkit masalah tugas itu? Ia bahkan tau kalau keperluannya kali ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kuliah. Pria ini benar-benar pembujuk yang tak kenal lelah. “Ayo! Temani aku! Aku tau kau tak ada kegiatan lagi setelah ini,” Hey… darimana ia tau? Dan seperti yang selalu dilakukannya, tanpa menunggu persetujuanku ia menarik lenganku agar ikut bersamanya, “Kau pasti tak mau kan kalau pasanganmu ini tampil sembarangan di pesta itu.”

What the…? Hey… apa maksudnya itu? Bukankah kemarin ia telah menyatakan bahwa dirinya menyesal dan meminta maaf padaku. Tapi kenapa? Kuhentikan langkah kakiku dan menghentakkan lenganku kasar. “Apa kau bilang? Pasanganmu?” semburku marah. Kelakuannya benar-benar membuatku tak tahan untuk menamparnya.

“Iya,” balasnya tenang seolah-olah semua itu tak membuatku marah. Bahkan aku bisa melihat seringainya yang tersembunyi di balik wajah tenangnya itu. Demi Tuhan, lelaki seperti apa yang sedang kuhadapi saat ini?

“Lalu apa maksudmu meminta maaf kemarin?” dengusku kesal.

“Aku memang meminta maaf padamu untuk sikapku yang keterlaluan,” jelasnya lancar, “Tapi aku tak pernah membatalkan janji yang sudah kita buat pada Miss Adams tentang pesta itu.” Janji? Sejak kapan aku menyatakan janji itu? Darahku benar-benar mendidih saat ini. Kalau saja ini bukan di kampus, sudah kutendang kakinya itu.

“Aku tak berjanji apapun, kau yang berjanji padanya. Bukan aku! Jadi tolong jangan libatkan aku!” bantahku cepat.

“Aku tau. Tapi pernyataan itu sudah diucapkan. Kau tidak mau kan kalau kau dianggap sebagai orang yang tak bisa menepati janji.” Errrghh… pria ini! Apa yang harus kulakukan sekarang. Dia benar-benar pemaksa sekali! Belum pernah aku berhadapan dengan pria seperti dirinya. “Sudahlah Ann, tak ada gunanya kau menolak terus. Datang saja. Pasti akan menyenangkan!” Ia kembali membujuk dengan senyuman semanis madu. Sial!

Tidak. Aku tak boleh tergoda dengan senjata ampuhnya itu kali ini. Kupalingkan wajahku untuk menghalau debaran keras di jantungku dan mulai bergumam,“Terserah kau mau bilang apa, aku tetap tidak mau!”

“Kalau kendalamu hanya karena tak memiliki gaun untuk kau pakai ke pesta itu. Jangan khawatir, kita akan membelinya hari ini. Masalah uang—“

  Continue reading