The Ruined Lily -Chapter 3-

Chapter 3

CoverBaru

 

 

Perjalanan dari Seoul ke Jeju memang tidak memakan waktu lama. Hanya satu jam lebih lima menit menggunakan pesawat. Namun Donghae nyaris tidak tahan, lantaran Yoohee duduk tepat di sampingnya. Gadis itu memang tidak mengatakan apapun yang dapat memprovokasi amarah Donghae, dan ia pun tidak keberatan ditemani gadis cantik, seandainya Yoohee mau berkooperasi dengan baik. Sayangnya, Yoohee tidak membuat segalanya begitu mudah bagi Donghae. Ia mendapat kesan bahwa Yoohee sengaja ingin menggoda, menguji kesabarannya hingga batas terakhir. Seperti yang terjadi saat ini, Yoohee menyandarkan kepala dengan santai di bahu Donghae, layaknya sepasang kekasih yang dimabuk cinta.

Donghae tidak mungkin mengabaikan kehangatan lembut yang kini memberati bahunya. Gesekan pelan rambut sehalus sutra Yoohee dengan lehernya, menjalarkan ketegangan menyenangkan dalam tubuh Donghae. Begitu pula wangi memesona yang nyaris melumpuhkan indranya, perpaduan antara kelembutan dan sensualitas. Jika Yoohee bergerak lebih dekat lagi, Donghae ragu dirinya sanggup menahan diri untuk tidak menyudutkan gadis itu, melepas seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya, menemukan setiap nadi halus di kulitnya yang selembut sutra, dan mencumbunya hingga bergetar puas.

Sial! Donghae memejamkan mata dan nyaris mengerang frustrasi. Ia harus belajar menahan diri, sebelum segalanya menjadi runyam.

Kesulitan menjaga ekspresi tetap datar, Donghae menghela napas cepat, hanya untuk mendapati aroma Lily dan Musk yang menguar dari sosok di sampingnya, kian menguat. Menggoda indranya melakukan hal-hal penuh dosa yang amat ingin dilakukan. Bagaimana mungkin seorang gadis memiliki aroma yang amat bertolak belakang. Seperti halnya sosok Yoohee, yang terkesan polos namun juga seksi di saat bersamaan.

“Sibuk menahan diri?” Suara feminin itu menyentak Donghae, mengirimkan kesadaran baru bahwa dugannya benar. Yoohee bertekad menggodanya. Entah apa yang diharapkan gadis itu dengan memancing gairah Donghae. “Buku-buku jarimu memutih seperti nyaris retak.” Kesiap kaget terlontar dari mulut Donghae, merasakan belaian halus telunjuk Yoohee menyusuri buku-buku jarinya.

“Hentikan!” Donghae menggeram serak selagi menepis. Memutuskan bersikap jujur, ia menjawab. “Aku seorang pria yang sehat.”

Kepala Yoohee terangkat, memberi Donghae alasan untuk bernapas lega. “Sama sekali tidak kuragukan,” balasnya, lengkap dengan seringai menggoda. Tampak luar biasa puas menyadari pengaruhnya terhadap Donghae.

Selagi membalas tatapan menantang Yoohee, Donghae menukas tajam. Setengah berbisik lantaran tidak ingin menjadi pusat perhatian penumpang lain. “Aku sama sekali tidak mengerti.” Ia melihat Yoohee memamerkan senyum misteriusnya lagi. “Sikapmu benar-benar membuatku bingung.”

“Apa persisnya yang membingungkanmu?” Yoohee bertanya santai. Bersandar pada kursinya sendiri selagi melipat kaki. Gerakan ringan itu memancarkan aura sensual yang sulit untuk ditepis begitu saja.

Menggeleng cepat, Donghae mencoba mengusir bayangan erotis kaki indah itu membelit di kakinya. “Kau… Nona.” Berhenti untuk mendesah, Donghae menambahkan dengan penekanan di setiap katanya. “Alih-alih mengadukan pada Kim Jungmyun mengenai motifku yang sesungguhnya, justru mencoba menggodaku. Apa sesungguhnya yang kau harapkan?”

Seperti yang telah Donghae duga, bukannya langsung menjawab, Yoohee malah terkikik geli. “Lee Donghae, itu namamu, bukan?” Ia terpaksa menjauh sewaktu Yoohee bergerak mendekat, membawa serta aroma peppermint dari napasnya yang segar. “Semua ini tidak ada hubungannya dengan rahasiamu,” tambah Yoohee santai, seolah apa yang ia bicarakan bukan soal hidup mati seseorang. “Aku hanya ingin memastikan, bahwa pesonaku masih seampuh biasanya.”

Donghae mendengus tidak percaya. Merasa yakin Yoohee tidak sepenuhnya jujur dengan ucapannya. Memastikan pesona katanya… oh, yang benar saja. Tanpa perlu berusaha pun, ia dapat memprovokasi setiap pria yang ditemuinya. Lagipula, mengapa hanya ia yang digoda? Tentunya dengan wajah cantik dan tubuh seksi miliknya, Yoohee dapat menemukan lelaki lain yang lebih tampan dan memesona untuk dipermainkan. Bukannya bermain-main dengan musuh terselubung yang berniat mengobarkan api permusuhan dengan sang calon suami.

Selama sisa perjalanan, Donghae membuang muka ke samping. Pura-pura sibuk memerhatikan seorang bocah yang sedang mengunyah dan memainkan permen karet dalam mulutnya. Seandainya ia masih sepolos dan sekecil itu, mungkin tidak akan kesulitan untuk menghadapi sang Lily penggoda.

Otomatis teringat pada tugas yang menanti, Donghae merutuk kesal. Perjalanan pesawat menuju Jeju bukanlah akhir dari segalanya, ia masih harus mendampingi Yoohee dalam beberapa hari ke depan. Dan jika Yoohee memutuskan untuk terus menggoda, maka Donghae tidak yakin dapat bertahan hingga akhir.

 

 

“Makan siang… hmm…”

Diam-diam Donghae memerhatikan wajah ceria Yoohee sewaktu mengobrol dengan Kim Jungmyun melalui telepon. Betapa mudah gadis itu melupakan kehadirannya, padahal sesaat lalu ia memaksa Donghae menemaninya makan di restoran hotel. Yang membuat Donghae semakin kesal, terkadang Yoohee tertawa, cemberut dan juga merajuk. Sama sekali tidak peduli dengan adanya penonton. Entah apa yang sedang dibicarakan Jungmyun, Donghae tidak dapat mendengar dengan jelas. Namun melalui interaksi tersebut, Donghae dapat menyimpulkan bahwa hubungan mereka sangat normal, seperti hubungan pria dan wanita pada umumnya, tidak ada faktor keterpaksaan, dan atas dasar… cinta.

Ya… cinta. Donghae bukan lelaki tolol yang tidak mampu menafsirkan binar kebahagiaan di sepasang mata bulat cantik Yoohee. Tidak ada Americano dalam pesanannya, namun rasa pahit itu tetap muncul. Di saat dirinya harus menderita atas kematian sang kekasih bertahun-tahun lalu, Jungmyun justru sibuk bermesraan dengan kekasihnya yang masih muda. Kebencian di hati Donghae kian membuncah, seperti gunung berapi yang siap meletus kapan saja. Dendamnya harus terbalaskan. Donghae akan melakukan apa saja untuk mencapainya, bahkan meski keberhasilan itu harus ditukar dengan nyawanya sendiri.

“Kekasihku memang cukup kaya. Tapi aku sangat keberatan bila harus kehilangan uang lantaran mengganti garpu yang kau patahkan.”

Terlalu larut dalam lamunan, Donghae tidak sadar Yoohee sudah menghentikan percakapannya melalui telepon. Kini, gadis itu sedang sibuk mengunyah sirloin steik sembari melemparinya tatapan bertanya. Tidak ingin berdebat, Donghae hanya membalas sindiran itu dengan dengusan.

Keheningan mengikuti dalam menit-menit yang dihabiskan selama menekuri makanan. Walaupun nafsu makannya sudah menghilang sejak Yoohee menyebut nama Jungmyun—dengan teramat mesra—beberapa menit lalu, Donghae mencoba mengunyah potongan steik dalam mulutnya dengan penuh penghargaan. Berpura-pura bahwa steik tersebut lah hal paling menarik saat ini, bukannya sosok feminin dan seksi yang kini duduk di hadapannya. Gadis yang dengan tololnya, menyerahkan diri ke pangkuan seorang ketua gangster paling keji yang pernah ia temui.

“Apakah… kau memiliki kekasih, Donghae-ssi?”

Donghae hampir tidak memercayai telinganya sendiri, lantaran Yoohee memilih pertanyaan tersebut untuk memulai kembali percakapan. Tanpa mengalihkan perhatian dari steik yang tinggal setengah dalam piringnya, Donghae balik bertanya. “Kenapa kau ingin tahu?”

“Aku mendapat kesan bahwa kau ingin menyimpan informasi tersebut untuk dirimu sendiri.” Donghae muak terhadap reaksi tubuhnya, setiap kali mendengar tawa merdu Yoohee. “Baiklah kalau begitu, aku tidak akan memaksa,” tambahnya santai, selagi meletakkan garpu beserta pisau di atas piring yang sudah kosong.

“Kekasihku sudah meninggal beberapa tahun lalu.” Entah apa yang Donghae pikirkan, hingga memutuskan bercerita. Lain kali, jika diperlukan, ia mungkin harus membawa gembok untuk menyegel mulutnya sendiri.

Untuk sepersekian detik yang singkat, Donghae melihat tubuh Yoohee menegang. Sebelum akhirnya, lagi-lagi, gadis itu mampu memasang topeng tidak peduli. “Jadi, karena itulah kau gampang tergoda. Walaupun hanya dengan satu belaian.” Ada senyum puas yang dipamerkan Yoohee, dan Donghae berharap bukan lantaran wajahnya telah berubah ungu.

“Dengar, Nona.” Menahan diri tetap tenang, merupakan hal tersulit yang dilakukan Donghae saat ini. Gadis itu terlalu pandai memainkan kata-kata untuk menyerang harga diri Donghae. “Semua itu tidak ada hubungannya—“

“Aku pernah diberitahu, bahwa lelaki yang sudah lama tidak melampiaskan hasrat seksualnya, akan menjadi lebih peka terhadap godaan berupa apapun.”

Jika wajahnya bisa berubah menjadi lebih ungu, Donghae mungkin akan melakukannya. Komentar terakhir Yoohee benar-benar keterlaluan. Donghae memang harus mengakui bahwa dirinya sempat tergoda oleh pesona Yoohee, tapi bukan berarti semua wanita dapat melakukannya.

Selama hidup, bahkan, tidak pernah sekalipun ia tergoda untuk melampiaskan hasrat biologisnya terhadap wanita manapun. Donghae telah menjaga hidupnya menjadi sesuci biarawan, dengan memilih tinggal di asrama khusus pria dan memfokuskan diri terhadap rencana membalas dendam. Lagipula, hubungannya dengan Youngri terlalu tulus untuk dinilai hanya dari segi seksual. Namun entah bagaimana, sesuatu dalam diri gadis Lily di hadapannya, berhasil mengobrak-abrik pertahanan yang telah ia jaga selama bertahun-tahun. Bahkan lebih buruk lagi, gadis itu menjadikannya sebuah lelucon yang dapat dilempar ke hadapan Donghae dengan amat santai.

Menggertakkan gigi murka, Donghae membalas. “Kekasihmu bisa saja seperti itu, tapi tidak semua lelaki sama.” Bantahan tersebut jelas terlihat lemah, mengingat betapa mudah Donghae tergoda. “Dan ingat, Nona! Aku tidak menolerir hinaan berupa apapun, untuk kenangan kekasihku.”

Salah satu alis Yoohee terangkat, dan yang mengejutkan, ada senyum tulus di bibir Yoohee. Senyum yang Donghae kira jarang ia bagi dengan orang lain. “Cinta pertama yang tulus, bukan begitu?” Yoohee menumpukan dagu bertelekan siku. “Kurasa… dia gadis yang beruntung.”

“Tidak lebih beruntung dibandingkan gadis lain yang dapat menikmati kehidupan panjang dengan bahagia.”

Satu senyum lain muncul, diikuti kedikan bahu santai. “Tidak selamanya umur panjang dapat menjamin kebahagiaan seseorang. Terkadang, kematian merupakan cara Tuhan untuk menunjukkan kasih sayangNya, lantaran Dia tidak ingin orang itu terus berkubang dalam kebusukan dunia.”

Menganga, mungkin satu-satunya reaksi yang mampu Donghae lakukan. Seperti baru saja dibebaskan dari setengah beban dunia, Donghae merasa tubuhnya lebih ringan dan santai. Sama sekali tidak menyangka kata-kata bijak yang diucapkan Yoohee mampu menyentuh kedalaman hatinya, dan kekesalannya terhadap gadis itu langsung saja terlupakan. Selama ini ia hanya sibuk memikirkan ketidakbahagiaan, tanpa sekalipun berpikir bahwa segalanya adalah takdir Tuhan yang harus ia terima dengan lapang dada. Mungkin saja saat ini Youngri telah berada di tempat terindah di sisi Tuhan, tempat yang jauh lebih sesuai untuk gadis sebaik malaikat seperti dirinya.

“Hei… apa kau sudah selesai?”

Senyum masih tersungging di bibir Donghae sewaktu menjawab. “Katakan saja kau mau diantar ke mana? Aku siap kapan pun.”

Tawa Yoohee mengalun lembut, mengirimkan getaran lain dalam tubuh Donghae. Getaran yang tidak ada hubungan dengan hasrat seksual. “Biar kupikirkan,” balas gadis itu selagi bertopang dagu, lalu duduk tegak sewaktu menemukan yang ia cari.

10014040_10152306907599127_433925541_o

Masih kebingungan, Donghae tersentak saat Yoohee menggamit tangan dan menuntunnya menuju ke luar restoran. Untuk beberapa menit, Donghae hanya mampu menatap tautan tangannya dengan Yoohee seperti orang tolol. Mencoba meyakinkan diri dengan lemah, bahwa debar jantungnya yang menguat adalah efek keterkejutan semata.

“Karena jadwal latihan baru mulai jam empat sore nanti, jadi sekarang… temani aku belanja!” Donghae mendengar Yoohee menjelaskan, sebelum ia sempat bertanya.

 

 

Memang, Yoohee menyatakan untuk menemaninya belanja. Namun tempat yang mereka tuju, benar-benar mengejutkan Donghae. “Toko pakaian pria?” tukasnya bingung, yang segera Donghae sesali, mengingat Yoohee mungkin berencana membeli hadiah bagi sang calon suami. Perasaan pahit lagi-lagi melandanya. Bagaimana mungkin Yoohee mencintai lelaki seperti Kim Jungmyun, yang jelas-jelas kejam dan ditakuti banyak orang. Lelaki itu bahkan tidak pantas mendapat kasih sayang berupa apapun.

“Kau mungkin akan dikira manekin, bila terus mematung di sana.” Terdengar suara Yoohee, diikuti kikikan geli yang diam-diam disukainya.

Mengekor pasrah di belakang gadis itu, ia terpaksa berhenti di deretan kaus dengan harga selangit. Membayangkan Kim Jungmyun yang amat serius menggunakan pakaian santai, mau tidak mau membuat Donghae terhibur. Tentu saja Yoohee tidak berencana membelikan kaus itu untuknya, bukan? Kaus-kaus itu sama sekali tidak cocok untuk selera Kim Jungmyun, apalagi yang berwarna pink.

“Kemarilah… dan coba yang ini!”

Lagi-lagi diseret seenaknya, Donghae tidak mampu menyembunyikan keterkejutannya lantaran Yoohee menyerahkan kaus biru lengan panjang yang tadi ia pilih, ke pelukannya. “Aku?” Pertanyaan itu otomatis terlontar.

283669_339486616125817_1768672244_n

“Ya, siapa lagi?” Dengan enteng, Yoohee balik bertanya. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan, mencari sesuatu yang jelas tidak ada. “Memangnya ada lelaki lain di sini?”

“Tapi—“

“Jangan senang dulu,” potong Yoohee cepat, mungkin gadis itu menyadari binar aneh yang muncul di mata Donghae. “Aku hanya tidak suka dengan ide menakuti teman-teman, lantaran kau berpenampilan seperti gangster.”

Ya, tentu saja. Donghae merutuk dalam hati, membuang jauh-jauh kecewa yang tidak ingin diakuinya. Bagaimana mungkin ia berani memikirkan hal lain yang lebih dari itu?

Usai ‘mendandani’-nya dengan kaus dan jeans baru, Yoohee membawa Donghae mengitari pusat perbelanjaan itu hanya untuk menghabiskan waktu. “Begini lebih baik,” komentar Yoohee sewaktu memandangi Donghae dalam penampilan barunya. “Jadi tidak ada yang menatap aneh padaku, karena mengira sedang dikawal seorang gangster.”

Setidaknya Donghae bersyukur lantaran terbebas dari setelan jas super rapi, yang tentu saja akan tampak konyol untuk dipakai pada siang hari di musim panas. Ia tidak menyangka gadis itu bisa cukup perhatian hanya untuk masalah-masalah kecil seperti pakaian. Donghae memutuskan menyukai sisi Yoohee yang ini. Tidak ada godaan yang membuat Donghae nyaris gila, dan tidak ada misteri yang perlu ia pecahkan. Namun, Donghae harus tetap ekstra waspada, mengingat sikap gadis itu bisa saja berubah dalam hitungan menit.

 

 

Merasa suasana hati Yoohee sedang berada pada tingkatan terbaik, Donghae memutuskan untuk bertanya. “Apa yang membuatmu tutup mulut, walaupun telah mengetahui motifku yang sesungguhnya?”

Yoohee melirik Donghae sekilas, jika ia terkejut mendengar topik yang diungkit Donghae, ia menutupinya cukup baik dengan pura-pura sibuk menekuri es krim. Beberapa menit setelah es krim itu habis, Yoohee menjawab. “Terkadang, tidak selamanya bersikap frontal merupakan pilihan terbaik.”

Donghae berhenti melangkah, memaksa Yoohee mengikuti. “Aku tidak mengerti,” balas Donghae, jelas-jelas bingung.

Namun seperti biasa, Yoohee hanya menyunggingkan senyum misterius andalannya. “Hanya orang-orang berotak encer yang akan mengerti.”

Sial! Secara tidak langsung Yoohee mengatainya bodoh. Baru saja Donghae membuka mulut hendak mendebat, Yoohee telah berlari dan masuk ke sebuah pet shop tidak jauh dari tempatnya berdiri. Awalnya Donghae mengira, Yoohee hanya ingin menghindar, namun melihat betapa pandangan Yoohee berbinar cerah menatap seekor anjing berwarna seputih salju, yang dipamerkan dalam kandang, Donghae sadar dugaannya salah. Gadis itu amat mencintai anjing, begitu mencintainya sampai-sampai tidak sadar sedang diperhatikan.

“Yoohee… Lee Yoohee…”

“Snow… nama anjingku dulu. Anjing maltese yang sama dengan si kecil menggemaskan ini.” Sekali lagi Donghae dikejutkan dengan keterusterangan Yoohee. Meski menyadari pengakuan itu tidak akan Yoohee lakukan dalam kondisi sadar, setidaknya sekarang ia tahu sisi lain dari seorang Lee Yoohee.

mal1

Tidak dapat menahan diri, Donghae bertanya. “Lalu… di mana dia sekarang?”

Ada kesedihan di mata bulat cantik itu, sebelum Yoohee memasang kembali topengnya yang tanpa perasaan. “Sama seperti kekasihmu. Dia sudah lama meninggal.”

“Aku turut berduka,” ungkap Donghae tulus.

Seolah menyesali apa yang telah ia ungkapkan, Yoohee menegakkan tubuh. Pura-pura tidak peduli pada pernyataan Donghae. “Ayo, antar aku ke Tapdong Haebyeon,” ajaknya pendek, dan berlalu pergi, bahkan tanpa menunggu Donghae menjawab.

Gadis itu benar-benar penuh misteri, renung Donghae selagi menatap punggung Yoohee menjauh, dan ia bertekad akan mencari tahu misteri apa lagi yang tersimpan di dalamnya.

 

international-convention-center-jeju-from-sea.jpg

Gedung konser itu berdiri megah di dekat pantai, dengan bentuk melingkar yang dilapisi dinding kaca di setiap sisinya. Memungkinkan setiap pengunjung mendapat pemandangan indah pantai Tapdong. Donghae mungkin tidak akan keberatan bila harus menunggu Yoohee selesai berlatih, dengan berlama-lama menatap keindahan lautan biru di hadapannya.

Tepat pukul empat kurang lima menit, mereka tiba di venue. Selama dalam perjalanan, gadis itu memilih membisu. Sama sekali mengabaikan Donghae, atau bahkan lupa bahwa ia berada di sana. Sisi bersahabat yang ditunjukkan Yoohee beberapa saat lalu telah sirna, berganti kebisuan yang membingungkan.

Donghae harus berterima kasih pada seorang gadis berpakaian ala eropa jaman lampau, yang menyambut, lantaran Yoohee tidak lagi diam membisu seperti sebelumnya. “Aku kira kau sengaja melupakan jadwal latihan kita,” gumamnya, diikuti seringaian bersahabat dan pelukan erat.

“Dengan resiko menghadapi kemarahan Tuan Ma? Oh, tidak. Kau pasti bercanda.”

Teman Yoohee tertawa, lalu berkomentar dengan lugas. “Tuan Ma tidak lebih menakutkan daripada tunanganmu.”

“Terima kasih atas pujiannya,” balas Yoohee pendek, yang mengundang senyum geli Donghae. Seharusnya Yoohee mendengarkan nasihat temannya, dan memilih menjauh dari dunia Kim Jungmyun yang berbahaya.

“Eh, ngomong-ngomong… siapa dia? Selingkuhanmu? Aku tidak percaya kau berani melakukannya, mengingat betapa mengerikan tunanganmu itu.” Seolah baru menyadari kehadiran Donghae, teman Yoohee memutuskan untuk berbisik. Tapi dalam jarak sedekat ini, mustahil bagi Donghae untuk tidak mendengarnya.

Pertanyaan itu, serta merta membawa tatapan Yoohee pada Donghae. Ada senyum tipis di bibir gadis itu sewaktu menjawab. “Kenapa tidak kau tanyakan sendiri saja?”

Teman Yoohee membelalak terkejut, bergantian memandangi dirinya dan Yoohee seolah baru saja terlibat dalam sebuah dosa besar. Masih dengan ekspresi menganga takjub, gadis itu bertanya pada Donghae. “Jadi benar… kau… kau kekasih baru Yoohee?”

Oh, sial! Hanya Tuhan yang tahu betapa Donghae ingin menjawab, ya.

 

TBC

 

Hope you like it, Guys~ ^_^

3 thoughts on “The Ruined Lily -Chapter 3-

  1. Makin seru ceritanya..yoohee bener2 tega ya menggoda kesucian donghae :D, aq penasaran jg nih sama yoohee.. knp dia mau bertunangan dgn seorg gangster 😦 kutunggu lanjutannya ya 😀 semangat ya nulisnya biar cepat publis hehehe 😀 😀 😀

  2. Donghae kena skakmat mulu y kl ngobrol ‘normal’ sm yoohee 😀

    Dn yoohee msh msterius dsni…puppyx cute bgt♥♥
    Mngkinkah kmtian snow gr2 jumyung??

  3. donghae mudah terayu, terjeratt ama yoohee,,
    wkwk
    ongek harus jaga hati mulu nih takut salah paham atas kelakuan yoohee yg ngegodain mulu ntu,,

    betapa donghae ingin menjawab ‘Ya’!
    wkwk sialan bgt gk tuh, pancingan yoohee :v
    gemess pen ngeliat mereka terjerat dlm hubungan cinta yang sebenar nya,
    pasti asyik tuh buat sitampan donghae :v

    semangat untuk next chap nya thor

Leave a comment