[OriFict] Second Door -Chapter 13-

CHAPTER 13

 

 Second Door

 

 

“Apa hobimu?”

Dengan malas, aku menjawab. “Entahlah, aku tidak memiliki kegemaran tertentu selain makan dan tidur.” Sambil lalu menyeruput Americano pesananku.

Tampak ekspresi aneh di wajah Hong Dae Jun—lelaki kesekian—yang diminta eomma menjalani kencan buta denganku. Mulai terbiasa dengan pertemuan-pertemuan seperti ini, aku tidak lagi ambil pusing dengan hasilnya.

“Kalau nanti kuajak kau menonton pertandingan baseball, apa kau akan setuju?” Dia lagi-lagi bertanya. Meski bisa dibilang penampilan lelaki itu tidak terlalu buruk bila dibandingkan dengan si bodoh Hyun Jae—kekasih Mae Ri. Tapi seratus persen, aku tidak menyukainya. Dia terlalu muda untukku. Aku heran mengapa eomma meminta lelaki yang tiga tahun lebih muda dariku untuk menjadi pasangan kencan butaku.

“Kenapa tidak menjawab?” tanyanya, sambil menyesap moccacino dalam gelasnya.

“Emm… aku khawatir hubungan kita tidak akan berlanjut,” kataku penuh sesal, yang tentu saja mengundang keterkejutannya.

“Kenapa kau berkata begitu? Apa aku terlihat buruk di matamu?” Dia memprotes. Matanya yang lebar, melotot padaku.

Pura-pura tidak enak, aku menggeleng. “Tidak, bukan begitu.”

“Lalu?” Dae Jun bertopang dagu. Usianya yang sangat muda, terlihat dari emosinya yang meletup-letup.

“Begini, dongsaeng[1].” Tampak kerutan di keningnya ketika aku mengatakan itu. Menghadapi lelaki yang usianya berada di bawahku, membuatku merasa ada di atas angin. “Kau tidak jelek, aku yakin banyak gadis yang bersedia menjadi kekasihmu,” ungkapku tidak sepenuhnya bohong. Dia memang memiliki wajah yang lumayan, apalagi dengan latar belakang keluarga terpandang, pasti tidak sulit baginya untuk mencari kekasih. “Hanya saja… aku telah—“

Jagiya[2], sudah lama menunggu?”

Meski seperti ada tali yang melilit perutku mendengar Wook Gi berkata begitu, aku berusaha menjaga ekspresiku sedatar mungkin. Tidak ingin sandiwaraku terbongkar dengan memilih terkikik. “Maaf, Dae Jun-ssi… aku sudah punya kekasih.”

Kontan saja Dae Jun beranjak dari kursinya seperti tersengat listrik, menatap aku dan Wook Gi bergantian selama beberapa saat, tidak lama kemudian ia mendengus dan pergi. Pasti ia menganggap aku gila karena melakukan kencan buta, sementara sudah memiliki kekasih. Kekasih palsu, tentu saja.

“Aku merasa kasihan padanya,” komentar Wook Gi, lalu menempatkan dirinya di kursi yang sebelumnya diduduki Dae Jun. Walau berkata begitu, aku bisa menangkap seringai geli di sudut bibir Wook Gi.

Ya, sebenarnya Wook Gi-lah yang semalam menawarkan diri untuk membantuku, katanya sebagai harga atas bantuanku yang telah bersedia merawatnya ketika sakit. Karena kesal eomma tidak juga berhenti memintaku menjalani kencan buta, aku bercerita padanya. Dengan senang hati, ia menawarkan dirinya untuk berpura-pura menjadi kekasihku. Oh, seandainya ini bukan pura-pura!

“Apa yang kau pikirkan? Menyesal karena melepaskan kesempatan bersama pemuda tampan sepertinya?”

Aku mendengus, mendengar Wook Gi sekali lagi bersuara. “Kalau kau berharap aku akan berkata ‘tidak menyesal karena ada kau di sini,’ lebih baik jangan bertanya, Oppa.

Mendengar itu, Wook Gi tidak bisa menahan diri untuk tertawa. Ia terkikik keras, sampai kulihat wajahnya memerah karena geli. “Sayang sekali saat ini kau terlalu pandai untuk dibodohi, Song Eun Hee-ssi.”

“Aku memang tidak bodoh!” tegasku, lalu menyuap sepotong pancake berlapis saus coklat pesananku. Mengunyahnya sebentar, dan kutelan. Enak.

“Lalu, apa rencanamu setelah ini?” Wook Gi menopangkan sikunya di meja. Menatapku. Seperti biasa, ia tampil sangat menawan dalam balutan kemeja putih lengan panjang dan jeans biru yang melekat di tubuhnya. Rambut cokelat gelapnya disisir ke belakang, memamerkan keindahan keningnya.

“Entahlah, eomma mungkin marah kalau tahu aku pulang secepat ini. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Min Hee terlalu lama. Dia sedang sakit.”

“Apa kau mau aku mengantarmu pulang?”

“Tidak usah.” Aku menggeleng pelan, tidak berani membuat kehebohan dengan memilih pulang bersamanya.

“Tenang saja, tidak sampai depan rumah.” Wook Gi mengedipkan sebelah matanya, meminta persetujuanku.

Bila sudah begini, apa yang bisa kulakukan?

“Hmm… baiklah,” kataku dan memberinya sebuah senyum. “Kalau kau tidak keberatan menunggu sedikit lebih lama. Setidaknya, aku harus mengecoh Eomma.”

“Walaupun kau meminta selamanya, aku rela menunggu.”

Nyaris saja aku menyembur Wook Gi dengan Americano dalam mulutku, jika tidak cepat-cepat menelannya. “Apa kau bilang?” Marah, adalah satu-satunya cara untuk menutupi kegugupanku. Rasanya pipiku memanas sampai ke telinga, mendengarnya berkata begitu. Sial! Jika dia tahu apa yang kurasakan untuknya…

“Jangan bercanda!”

“Kalau kubilang aku tidak sedang bercanda?”

Aku menelan ludah. Berjuang melawan jantungku yang menghentak cepat seperti bunyi bergemuruh di pacuan kuda. Jika saja ada tawa atau seringai jahil di bibir Wook Gi, mungkin aku akan merasa lebih baik. Tapi kini, ekspresinya benar-benar serius. Sedatar papan tulis!

O-oppa?!” Bodoh! Jawaban macam apa itu?

Ada keheningan merebak cukup lama. Hingga rasanya tanganku kebas hanya dengan menggenggam kelewat erat garpu di tanganku. Bahkan, ketika aku menghitung sampai lima puluh, tidak ada seorang pun di antara kami yang mau memulai pembicaraan.

“Ehm… Wook Gi Oppa, aku—“

Tawa Wook Gi meledak, membiarkan kalimatku menggantung tak terselesaikan. “Aku menyesal tidak membawa kameraku, mungkin aku bisa memasang ekspresimu ini di pameran fotoku nanti.”

Sialan! Jadi, ini hanya salah satu permainannya seperti biasa? Oh, bagus!

“Maaf Song Eun Hee, ternyata kau masih sebodoh dulu!”

Kontan, aku menendang tulang keringnya dari bawah meja. Dengan cepat ia mengangkat kakinya dan mengaduh kesakitan. “Sekali lagi kau melakukan itu, aku akan berbuat yang lebih buruk,” ancamku berbahaya.

Seandainya dia tahu apa yang kurasakan. Arrghh… sial!

 

***

 

Turun dari bus, aku dan Wook Gi berjalan bersisian di trotoar. Masih ada dua blok lagi jarak yang harus kutempuh, sebelum sampai ke rumah. Setidaknya, aku masih punya waktu sepuluh sampai lima belas menit untuk mengobrol dengan Wook Gi.

“Eun Hee-ya, sudah berapa kali ibumu memintamu kencan buta?” Mulai Wook Gi, ketika tidak ada satu pun yang bersuara di antara kami.

Aku mencoba menghitung, tapi tidak ingat lagi berapa lelaki yang telah ditawarkan eomma padaku. “Entahlah, aku tidak ingat.”

“Sebanyak itu?” Ia tampak terkejut, dan aku mengangguk.

“Kau pasti menganggap ibuku aneh. Iya, kan?”

“Tidak.”

Di luar dugaan, ia menggeleng. Aku terpaksa mengikutinya ketika ia berbelok ke taman, dan memilih duduk di sana. “Kalau aku jadi ibumu, aku juga akan melakukan hal yang sama,” lanjutnya tenang. Tidak ada tanda-tanda ejekan samar dalam suaranya. Oh, dia serius!

Mendengus, aku berusaha mendebat. “Umurku masih 26 tahun. Belum setua itu untuk dikhawatirkan.”

“Memangnya kau mau menikah di usia berapa, huh?”

Aku diam untuk berpikir, tapi tidak menemukan jawabannya. “Entahlah, setidaknya… sampai aku menemukan pria yang tepat,” kataku tegas, dengan tangan terlipat di depan dada. Aku tidak mau, dia ikut-ikutan mendesakku untuk segera menikah seperti yang dilakukan eomma dan Mae Ri.

“Tidak pernahkah kau pikirkan bagaimana perasaan ibumu yang ingin segera menimang cucu?”

Cepat, aku menoleh. Merasa pembicaraan ini akan berakhir dengan pertengkaran, aku berusaha menghentikan. “Begini, Wook Gi Oppa… aku tidak ingin bertengkar denganmu. Masalahku sudah cukup banyak. Jadi, biarkan aku memutuskan sendiri apa yang terbaik untuk hidupku.”

Dia tersenyum kikuk. “Hmm… maaf kalau aku terlalu ikut campur.” Ia beranjak berdiri. “Aku hanya tidak bisa menahan diri.” Ia diam sebentar, membuatku ikut diam menantikan komentar selanjutnya. “Mungkin ibumu hanya tidak ingin putrinya yang cantik, tidak bahagia tanpa cinta dalam hidupnya.”

Aku tidak bisa menggambarkan apa yang kurasakan saat ini. Ucapannya barusan seperti sepasang stick yang menabuh drum di jantungku kuat-kuat. Telingaku terasa pengang. Dia bilang aku cantik. Ya, dia memang mengatakan itu!

“Selamat sore, aku pamit pulang dulu. Semoga adikmu lekas sembuh.”

“Eh.. oh, iya.” Aku tergagap. Merasakan pipiku memanas hingga ke telinga.

Entah sudah berapa lama aku berdiri di sini dan menatap punggung lebar Wook Gi menjauh, lalu menghilang di tikungan. Mungkin ia mengatakan semua itu tanpa maksud apa-apa. Sialnya, kata-kata itu memberi efek yang lebih dari biasa bagi diriku.

Bagaimana jika kukatakan aku tidak butuh dipaksa untuk menemukan cinta? Ya, cinta itu sudah hadir dengan sendirinya. Tidak ada manusia yang bisa mengaturnya, bahkan si pemilik hati sekalipun.

Seperti kata Eun Bi dalam drama Flower Boy Ramyun Shop, ‘hati manusia tidak seperti pintu berputar yg bisa dimasuki orang lain sesuka hati.’ Jadi, betapa pun orang itu mencoba masuk, kalau ia tidak berhasil mendapatkan kuncinya, hati itu tidak akan pernah terbuka. Hanya Tuhan yang tahu di mana kunci itu tersembunyi dan pada siapa, dia akan memberikannya.

Dengan langkah-langkah gontai, aku melanjutkan perjalananku ke rumah. Otakku mengulang kembali awal pertemuan kami, hingga menjadi sedekat sekarang. Tersenyum kecil, mengingat banyak sekali tingkahnya yang membuatku jengkel, tapi aku justru tidak merasa kapok untuk terus berdekatan dengannya. Sungguh berbeda dengan sikapku pada lelaki-lelaki yang diatur eomma untuk menjalani kencan buta denganku. Sedikit saja kesalahan mereka, aku tidak mau lagi menolerir. Benar kata orang, cinta dan logika tidak bisa disandingkan bersama-sama.

“Bagaimana Dae Jun? Dia tampan, bukan?”

Terlalu lama melamun, aku tidak sadar kini sudah sampai di rumah dan langsung diberondong pertanyaan oleh eomma. Beringsut mendekat, aku melingkarkan lenganku di tubuh eomma. Kurasakan eomma menggeliat resah dalam dekapanku.

“Eun Hee-ya, kau kenapa?”

Aku melepaskan pelukanku untuk menatap eomma. Mencoba meyakinkannya bahwa aku baik-baik saja tanpa campur tangan dirinya. “Mulai sekarang, Eomma tidak perlu mengkhawatirkanku lagi, hmm?”

Kulihat kening eomma mengernyit bingung. Ia menatapku dari atas sampai bawah, seolah putrinya ini sudah gila. Ya, aku memang sudah gila. Bahkan mungkin sudah sampai ke stadium akhir.

“Apa maksudmu?” tanyanya bingung. Namun beberapa detik setelahnya, wajah eomma berubah sumringah. “Apa kau… menerima Hong Dae Jun? Oh, putriku! Kapan kalian akan—“

Eomma, siapa yang bilang begitu?” selaku cepat, dan senyum eomma langsung lenyap secepat Citah berlari.

“Aku tidak mengerti.” Eomma menghela napas, memunggungiku, lalu melanjutkan pekerjaannya mencuci beras di wastafel.

Aku memeluknya lagi. Kali ini dari belakang, dan itu membuat eomma mengejang kaget. Pelan, aku bersuara di dekat telinganya. “Aku tahu maksud Eomma baik dengan memintaku melakukan kencan buta.”

Eomma langsung berhenti mencuci beras, dan berbalik menatapku. “Oh, aku terkesan kau baru menyadarinya sekarang,” katanya penuh sindiran.

Aku tertawa pelan, mengabaikan raut kesal eomma. “Tapi, mulai saat ini… Eomma tidak perlu lagi melakukan itu,” kataku lambat-lambat. “Karena, aku sudah bahagia. Memiliki Eomma, Min Hee dan Jong Hee—“

“Jangan sebut namanya!”

Mengabaikan eomma, aku melanjutkan. “Kalian adalah kebahagiaan bagiku. Cinta tidak bisa dipaksakan Eomma. Betapa pun Eomma mencoba, bila hati tidak tergerak, tidak akan pernah berhasil. Jadi, jangan buang-buang waktu berharga Eomma lagi untuk itu. Aku bahagia, dan akan selalu seperti itu.”

Senyumku melebar menatap kerutan bingung di kening eomma. Setelah mendaratkan kecupan ringan di pipinya, aku melangkah. Masuk ke kamar Min Hee untuk mengecek keberadaannya.

Entahlah, sore ini… aku merasa begitu bebas. Seolah salah satu beban di pundakku baru saja terangkat.

Terima kasih, Choi Wook Gi!

Suara napas tersengal, seketika menghentikan langkahku di ambang pintu yang masih terbuka. Dalam sepersekian detik, senyum di bibirku lenyap secepat datangnya mendapati Min Hee tergeletak di lantai, sembari memegangi dadanya. Napasnya terputus-putus dan dari mulutnya keluar rintih kesakitan.

Demi Tuhan!

“Min Hee, apa yang terjadi padamu?”

 

[1] Adik

[2] Sayang

7 thoughts on “[OriFict] Second Door -Chapter 13-

Leave a comment