Just Get Married [Chap 8]

Chapter 8

 

 Just Get Married

 Serbuan rasa sakit seketika menyesaki hati dan pikiranku. Aku hanya bisa tercengang antara bingung dan sakit hati saat Eunhee mengendurkan cengkramannya di kerah bajuku dan gadis itu kembali jatuh tak sadarkan diri. Semua angan-angan yang sempat terkumpul dalam benakku mendadak sirna seketika. Seperti kepulan asap yang terus membumbung tinggi di udara. Hilang tanpa bekas.

(Lee Donghae)

 

 

-Lee Donghae, Galleria Vittorio Imanuele, Milan-

“Kenapa kau menahanku? Bagaimana kalau dia tersesat?”

Entah sudah kali keberapa aku mengomeli Marilyn yang kini duduk di hadapanku sembari menyeringai lebar. Harusnya aku mengejar Eunhee, tapi adik sepupuku ini malah menahanku. Sudah cukup sesorean ini aku dibuat resah sampai hampir gila saat aku menyadari Eunhee menghilang dari kamar hotel. Padahal aku tahu ia tak membawa penunjuk jalan apapun. Bahasa Itali-nya pun sangat buruk. Menghubungi ponselnya pun percuma karena gadis itu tak membeli nomor baru untuk digunakan di Milan. Jangan sampai terjadi hal buruk lain pada gadis itu. Sial! Aku bahkan tak sempat mengganti pakaianku. Sebenarnya aku malu, tapi mau bagaimana lagi. Eunhee tak boleh menyadarinya. Aku nyaris saja membongkar semuanya saat tanpa sadar tubuhku bergerak otomatis untuk memeluknya. Aku kelewat bahagia setelah hampir mati mencarinya ke sana ke mari seperti orang gila.

“Oh, gadis itu sudah dewasa Oppa. Buktinya ia bisa jalan-jalan sendirian di Buono square tanpa kurang suatu apapun. Dia juga terlihat sangat riang saat menyapaku tadi. Kenapa kau masih mengkhawatirkannya? Kurasa Eunhee-ssi bisa mencari jalan pulang sendiri.”

Aku tercengang, bingung sekaligus baru menyadari sesuatu yang sedikit ganjil. “Kau… mengenal Eunhee? Aku ingat belum sempat mengenalkannya padamu?”

Marilyn tertawa tanpa beban. Seolah pertanyaanku hanya sebuah lelucon anak kecil. “Entah ini takdir atau bukan, tapi aku sempat berkenalan dengannya selepas belanja tadi,” jelas Marilyn sembari memundurkan tubuhnya untuk bersandar di kursi kafe berwarna biru yang ditempatinya. Atas desakan Marilyn, akhirnya aku setuju menemaninya makan di salah satu kafe  di sekitar Duomo Square setelah beberapa saat sebelumnya aku meminjam kartu kredit Marilyn—karena aku lupa tak membawa dompet—untuk membeli baju ganti. Tidak mungkin aku berjalan-jalan hanya dengan menggunakan pakaian tidur seperti tadi.

“Jadi… kalian…”

Kali ini Marilyn mengangguk. “Ya, tadi ia tak sengaja menabrakku. Dan kami pun berkenalan saat aku mengenalinya sebagai orang Korea.”

Aku mengangguk paham. “Kalau begitu, bagaimana menurutmu?”

Kulihat Marilyn mengernyit sebentar lalu gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Well, aku menyukainya.” Senyumku melebar mendengar komentar Marilyn. “Hanya saja, kurasa penilaianmu salah tentang gadis itu.”

Aku mendengus. Mulai kesal dengan sikap sok tahu Marilyn yang tak pernah berubah sejak ia kecil dulu. Marilyn sepupuku, putri dari paman Jongsuk adik Appa yang menikah dengan wanita asal Kanada—Bibi Florence. Saat ia mengatakan sedang di Milan, aku langsung memintanya bertemu setelah beberapa saat sebelumnya menceritakan semua yang terjadi antara aku dan Eunhee melalui email yang selalu rutin kami kirim.

Well, dia memang tinggal jauh di Kanada. Tepatnya Seattle. Tapi hubunganku dan Marilyn tak pernah jauh. Video chatting, email, apapun itu. Selalu rutin kami lakukan. Apalagi saat ini sudah banyak sekali macam sosial media yang bisa kami gunakan, seperti Skype, Whatsapp, Line dan sebagainya. Tentu bukan hal sulit untuk melakukannya.

“Maksudmu?”

Marilyn berdeham lalu mencondongkan tubuhnya padaku. “Begini, di emailmu dulu kau mengatakan bahwa gadis itu sama sekali tak menyukaimu. Kalian menikah atas dasar perjanjian dan ia melakukannya hanya untuk kepentingan itu.”

“Benar,” Aku mengangguk. “Lalu… apa yang salah dari ceritaku itu?”

Kulihat Marilyn menggeleng sembari berdecak. “Kau itu bodoh atau bagaimana, Oppa?”

“Apa?” Aku melotot. “Kau mengataiku bodoh?”

Lagi-lagi Marilyn menggeleng pelan. Seolah aku ini orang paling bodoh di seluruh dunia. “Kau benar-benar tak menyadari kecemburuan gadis itu?”

“Eh?” Cemburu? Eunhee… cemburu?

“Kau pikir karena apa gadis itu kabur saat kau akan mengenalkanku padanya? Oh, ayolah Oppa. Anak TK berusia lima tahun saja tahu kalau dia cemburu.”

Aku terhenyak. Sejenak merasa bingung dengan informasi yang diberikan Marilyn. Tapi bila mengingat bagaimana sikap Eunhee tadi, ucapan Marilyn ada benarnya. Aku yakin Eunhee bukan gadis yang tak tahu aturan dengan memilih pergi begitu saja pada saat aku akan mengenalkan seseorang padanya. Tapi bila benar Eunhee cemburu, bukankah itu artinya… dia juga menyukaiku?

“Jangan terlalu banyak berpikir, sebaiknya berhenti bermain tarik ulur dengan istrimu itu. Tunjukkan saja kalau kau benar mencintainya.”

“Tapi—“

“Tapi apa lagi?” Marilyn menyeruput Ice Americanonya sembari mendesah bosan. “Jangan katakan kalau kau tak tahu bagaimana caranya.”

Aku terkekeh pelan sembari menggaruk belakang kepalaku. “Sebenarnya… aku belum terlalu yakin.” Kudengar Marilyn mendengus. “Jadi, aku butuh bantuanmu sekali lagi.”

“Oh, tidak. Bantuan apa lagi?”

Seringaiku melebar ketika membayangkan apa yang akan terjadi bila benar dugaan Marilyn sebelumnya. “Begini, besok pagi-pagi sekali aku akan mengajak Eunhee liburan ke Danau Como—“

“Tidak.”

“Aku belum selesai bicara.”

“Jawabanku tidak!” sungut Marilyn jengkel dan aku mengerutkan kening bingung.

“Kenapa?”

Sembari mendengus, Marilyn menjawab pertanyaanku. “Kau pikir menyenangkan menjadi orang ketiga di tengah dua orang yang sedang kasmaran? Tidak, tidak, terima kasih.”

Aisshh… bagaimana ini? Aku benar-benar membutuhkan bantuan Marilyn. Hanya untuk meyakinkan diri bahwa memang benar Eunhee cemburu. “Ayolah…”

“Tidak, terima kasih. Lebih baik besok aku belanja di tempat lain saja.”

Oh, Demi Tuhan! Jahat sekali sepupuku ini. Bukankah hari ini dia baru saja belanja banyak? Aku melirik bungkusan yang Marilyn letakkan di kursi kosong sebelahnya. Kurang lebih ada lima bungkusan dari gerai yang berbeda di sana. Sebenarnya apa lagi yang ingin dibelinya?

Aha! Seperti ada lampu yang tiba-tiba menyala di atas kepalaku, aku menemukan ide cemerlang! “Bagaimana kalau LV terbaru yang—“

“Oke, deal!”

Aku mendengus antara senang dan jengkel saat tiba-tiba Marilyn mengulurkan tangannya padaku sebagai tanda persetujuan. Sial! Dia memang sama sekali tak berubah. Tetap matrealistik seperti dulu. Well, demi Eunhee apapun akan kulakukan.

“Tambah satu gaun Dolce Gabbana—“

“Apa?” Aku terbelalak lalu otomatis melepaskan tautan tangan kami. Dolce Gabbana? Desainer terkenal itu? Apa dia sudah sinting? “Bukankah barusan kau sudah setuju?” tuntutku mulai jengkel.

Marilyn menggeleng dengan gaya angkuh. “Aku hanya setuju untuk ikut. Kalau untuk sekalian memanas-manasi istrimu, kau harus membelikanku satu gaun Dolce Gabbana Houte Couture—”

“Kau gila?”

“Kalau begitu ya sudah. Aku ikut saja tanpa melakukan apapun. Jika perlu kuceritakan saja pada Eunhee bahwa aku sepupu—“

“Baiklah… baiklah, satu gaun. Tidak lebih. Puas?” tandasku pasrah dan kulihat Marilyn tersenyum lebar. Sial! Sebenarnya aku sedang membuat kesepakatan dengan sepupuku sendiri atau dengan pebisnis ulung?

“Oke, deal! Besok jam 8 pagi aku sudah menunggumu di lobby,” katanya riang, sama sekali berbeda dengan beberapa saat lalu.

Sial. Kartu kreditku bisa limit sebelum waktunya.

-Four Season Hotel, Milan-

Langkahku semakin cepat ketika tiba di lantai tiga hotel yang kutinggali. Rasanya sudah tak sabar untuk mengamati sendiri dugaan Marilyn. Sepulang dari kafe tadi, hatiku terus bertanya-tanya sekaligus menduga-duga apa yang sedang dilakukan Eunhee saat ini. Apakah gadis itu akan menangis semalaman? Memarahiku hingga menyuruhku tidur di sofa lagi? Atau… dia akan merajuk dan memukuliku karena meninggalkannya sendirian dan malah asyik ber’kencan’ dengan Marilyn.

Aku tak bisa menahan senyumku jika benar dugaan terakhirku terjadi. Ah, tapi itu terlalu berlebihan. Aku yakin Eunhee tak akan begitu saja mengakuinya padaku.

Dengan hati berdebar, aku memasukkan kartu ke pintu kamar hotelku dan beberapa detik kemudian pintu itu terbuka. Gelap. Hal pertama yang kulihat hanya kegelapan. Mendadak perasaanku jadi tak enak. Buru-buru aku menghidupkan lampu dan melangkah ke kamar. Kosong. Tak ada siapapun di sini. Kamar mandi juga begitu.

Seketika itu juga lututku lemas, dan membiarkan pantatku terlempar ke tempat tidur berlapis bed cover dari bahan wol terbaik yang bahkan posisinya belum berubah sejak sore tadi kutinggalkan. Itu artinya, Eunhee belum kembali ke kamar ini. Bagaimana bila Eunhee benar-benar tersesat? Atau… bisa saja dia memutuskan untuk kabur karena dibakar api cemburu? Ah, tidak, tidak, tidak. Barang-barangnya masih di sini.

Baru beberapa jam lalu ia kutemukan, dan sekarang gadis itu sudah kembali hilang. Sial! Apa belum cukup ia membuatku resah sesorean ini? Aku sadar, aku yang salah karena tak mengikutinya dan malah meladeni omong kosong Marilyn tentang kecemburuan Eunhee. Bila saja aku tahu—astaga!

Aku segera beranjak dari tempat tidur saat menyadari Eunhee mungkin tak bisa masuk karena gadis itu tak membawa kunci kamar ini bersamanya. Tapi bukankah ia bisa meminta petugas untuk memberinya kunci cadangan? Ah, lebih baik aku menanyakannya pada petugas hotel.

Aku tak ingat sempat berlari melewati lorong dan turun menggunakan lift, karena kini aku sudah tiba di depan meja resepsionis yang menatapku heran. “Ada yang bisa dibantu, Tuan?” tanya gadis berambut coklat keemasan itu ramah. Aku ingat dia resepsionis yang melayaniku siang tadi.

“Apa kau… melihat istriku? Maksudku… gadis yang bersamaku—“

“Ah, gadis bermantel coklat yang Tuan cari sore tadi?” Aku mengangguk cepat. “Tadi sore sekitar satu jam setelah Anda bertanya kepada saya tentang keberadaan Nona itu, kulihat dia masuk,” ceritanya dengan senyum yang terus-terusan tersungging di bibirnya. Pasti itu termasuk pelajaran etika untuk melayani pelanggan. “Aku ingat karena tak lama setelahnya, ia kembali lagi dan sempat duduk lama di sofa lobby.”

Jadi benar, Eunhee tak bisa masuk ke kamar? “Lalu?” tanyaku tak sabar.

Well, sekitar setengah jam kemudian, gadis itu kembali ke atas. Apa Anda masih tak bisa menghubunginya?”

Aku melenguh pelan. “Belum,” kataku pasrah. “Dia tak mengaktifkan ponselnya selama di sini.”

Resepsionis itu terdiam. “Kenapa tidak Anda cari di sekitar hotel saja? Saya yakin istri Anda tidak pergi kemana-mana lagi. Karena setelah itu, dia tak keluar lagi.”

Tiba-tiba merasa bersemangat, aku tersenyum selebar yang kubisa. “Terima kasih, Nona Abree,” kataku sembari membaca nametag di seragam gadis resepsionis itu.

You’re welcome, Sir.”

Tanpa menunggu diperintah, aku langsung melesat menyusuri semua tempat yang bisa kudatangi di setiap sudut hotel ini. Kakiku berhenti di depan Lounge setelah sebelumnya mencari Eunhee ke taman dan juga restoran. Gadis itu ada di sana. Persis di depan meja bartender dan tampak sedang menelungkupkan wajahnya di lipatan tangannya di atas meja. Jangan katakan Eunhee mabuk. Gadis ini… bukankah lebih baik dia mengisi perutnya dengan makan Pasta di restoran daripada menghabiskan waktu menunggu di Lounge berteman minuman keras?

Aku melewati beberapa orang yang sedang bebincang-bincang di beberapa meja dan menghampiri Eunhee. Kuangkat gelas kristal kecil yang setengah kosong di sampingnya dan mencium aromanya. Vodka.

“Sudah berapa gelas dia menghabiskannya?” tanyaku pada bartender yang sedang asyik melayani pelanggan lain.

“Euuungg… kalau tidak salah itu gelas ketiga.”

Sial! Apa yang dipikirkan Eunhee hingga ia memilih mabuk-mabukan di sini. Setelah membayarkan sejumlah yang diminumnya, aku meraih bahu Eunhee dan mengguncangnya sedikit. “Hee?!”

“Euuummhh…” Aku mengernyit ketika Eunhee mengangkat kepalanya. Gadis itu menatap aku seperti seseorang yang baru pertama kali melihatku. “Kau… siapa kau?” racaunya dengan kepala sempoyongan. Matanya setengah terpejam sedangkan telunjuk gadis itu mengarah padaku.

Aku menghela napas, lalu tanpa menjawab pertanyaannya aku meraih bahu Eunhee. “Ayo, kita kembali ke kamar.”

“Hey! Jangan sentuh aku!” teriaknya sambil berusaha menghindar. “Aku bisa melaporkanmu—“

“Lakukan saja!” potongku lalu membopong tubuh Eunhee dengan mudah di atas pundakku. Gadis itu meronta, tapi aku tak peduli. Dia harus segera kubawa ke kamar sebelum membuat keributan di tempat ini.

Aku mendesah lalu menggeleng pelan setelah kurebahkan Eunhee di kamar. Untung saja dia tak berteriak-teriak seperti orang gila selama di jalan tadi. Mungkin dia sudah kehabisan tenaga untuk melakukannya. Bayangkan saja, tiga gelas vodka untuk ukuran gadis sepertinya? Demi snack coklat kesayanganku, aku bahkan kalah kuat dengannya soal minum. Kulepas wedges bertali coklat yang dipakainya. Setelah meletakkan wedges itu di sisi tempat tidur, aku mendudukkan diriku di sisinya.

Eunhee pulas. Matanya terpejam rapat dan irama napasnya teratur. Apakah dia minum sebanyak itu karena marah padaku? Dia cemburu aku berpelukan dengan Marilyn, hingga membuatnya mabuk-mabukan seperti ini? Oh, jika benar begitu, rencanaku untuk menjadikan Eunhee milikku sama sekali tak sia-sia.

Aku mencondongkan tubuh untuk melihatnya lebih dekat. Menelusuri garis wajahnya, matanya, hidungnya, bibirnya, keningnya, pipinya, alisnya, dagunya. Dia tampak begitu polos saat sedang tidur begini. Tanpa sadar aku tersenyum dan menyapu titik-titik keringat di keningnya dengan ujung lengan kemejaku.

“Eunhee… seandainya kau tahu apa yang kurasakan untukmu.” Kusingkap poninya dan mengecup kening Eunhee pelan. Berhati-hati agar ia tak terbangun dan menimbulkan keributan. Aku menelan ludah ketika tatapanku tertuju pada bibir merah mudanya yang tampak begitu lembut. Seperti buah plum ranum yang siap disantap. Sial! Apakah sebuah kejahatan bila aku mengecupnya sekali saja?

Semalam aku tersiksa. Tak bisa tidur mendapati sosok tubuh hangat berada di sampingku. Bila saja aku bisa, aku ingin pindah saja ke sofa dan membiarkan diriku kedinginan tanpa harus berpikir yang macam-macam. Aku pria dewasa yang sehat, tentu sangat sulit menghadapi godaan menggiurkan semacam itu. Tapi aku menekan dalam-dalam keinginan itu, dan berakhir menyedihkan karena baru bisa tertidur setelah jam 3 dini hari. Akibatnya, siang tadi aku benar-benar ngantuk dan sekali lagi mendapati kesialan karena Eunhee meninggalkanku seorang diri seperti orang tolol. Menyedihkan!

Aku menatap Eunhee lagi. Dia istriku. Bukankah aku berhak atas dirinya? Tentu bukan masalah bila aku menciumnya. Ya, tidak ada yang akan menyalahkanku. Jadi untuk apa aku mempersulit diriku sendiri dengan berpura-pura sok suci padahal dalam hati terus berpikir bagaimana bila melakukannya.

Kutundukkan kepalaku semakin dekat, rasanya jantungku mulai berdebar cepat seiring semakin dekatnya jarak wajahku dengannya. Aroma vanila dan citrus bercampur bau menyengat alkohol menguar dari tubuh Eunhee. Aku mendekat lagi, sesenti demi sesenti. Semili demi semili.

“Uhuuuk!!!” Aku terkesiap dan otomatis menjauhkan diriku ketika tiba-tiba Eunhee terbatuk dan sebelah tangannya mencengkeram kerah bajuku. Matanya yang semula terpejam kini sedikit terbuka. Ia pun sudah beranjak dari posisi tidurnya. Sial! Apa dia akan meneriakiku? Seperti tadi pagi saat dia menuduhku dan ingin melaporkanku pada pihak keamanan?

“Lelaki brengsek! Menyebalkan! Sialan! Aku benci padamu!” Aku tertegun dan membiarkan tinju Eunhee menghantam dada dan bahuku beberapa kali. Tubuhku bergetar penuh antisipasi, berharap Eunhee akan mengatakan apa yang dirasakannya padaku. Bukankah seseorang yang sedang mabuk akan mengatakan apa yang ada di dasar pikirannya yang bahkan tak akan sanggup diucapkan dalam keadaan sadar. Dengan begitu, besok aku tak membutuhkan lagi jasa Marilyn dan kartu kreditku akan selamat dari jarahan gadis itu.

“Hee—“

Aku tersentak ke depan ketika dengan kekuatan tak terduga Eunhee menarik kerah bajuku hingga kini wajah kami berhadapan dalam jarak beberapa centi saja. Desah napasnya yang berbau alkohol membanjiri penciumanku. Aku ingat ada yang pernah mengatakan bahwa kekuatan orang mabuk bisa jauh lebih besar dari biasanya. “Jangan pernah menggangguku lagi, brengsek! Lelaki gila brengsek! Aku tak percaya lagi padamu, tolong menjauh dari hidupku, Woobin-ssi! Milan? Kau memang berjanji membawaku ke Milan. Tapi itu masa lalu!”

Serbuan rasa sakit seketika menyesaki hati dan pikiranku. Aku hanya bisa tercengang antara bingung dan sakit hati saat Eunhee mengendurkan cengkramannya di kerah bajuku dan gadis itu kembali jatuh tak sadarkan diri. Semua angan-angan yang sempat terkumpul dalam benakku mendadak sirna seketika. Seperti kepulan asap yang terus membumbung tinggi di udara. Hilang tanpa bekas.

Begitupun dia wanita. Tentu saja tak akan semudah itu bagi Eunhee untuk melupakan mantan kekasih yang dulu pernah sangat dicintainya. Dan aku terlalu naif untuk mengabaikannya. Tolol! Kapan Kim Woobin tak mengganggu hidupku lagi?

***

“Pusing sekali!”

Spontan aku membuka mata ketika mendengar suara Eunhee. Sudah pagi. Aku mengerjap pelan. Menggeliat dan beranjak duduk. Lama-lama aku jadi terbiasa tidur di sofa seperti ini.  “Sudah seratus persen sadar?” Aku bertanya sembari menguap.

“Eh?” Kulihat Eunhee terbelalak. “Kau tidur di sofa?”

Aku sengaja mendengus. “Terpaksa,” kataku penuh tekanan. “Aku tak akan bisa tidur karena kau sibuk meracau tidak jelas semalaman. Bahkan kau sempat memukuliku dan menganggap aku ini mantanmu itu.”

“Apa? Benarkah?” Eunhee melangkah mendekatiku dan matanya yang beriris hitam menatapku lekat-lekat. Ia akhirnya duduk di sofa gading di depanku. “A-apa aku benar-benar berbuat begitu? Tapi selama ini aku tak pernah—“

“Kau lupa kalau kau semalam mabuk setelah minum 3 gelas vodka di Lounge?” Aku sengaja membuat nada suaraku terdengar kesal dan kulihat Eunhee terkejut mendengarnya.

“Euumm… salahmu sendiri. Kenapa kau tak memberikan kunci kamar padaku,” katanya sembari memalingkan wajahnya dariku.

“Kenapa tak memintanya? Bagaimana aku bisa memberikannya padamu kalau kau main pergi saja. Bahkan sebelum aku sempat mengenalkan Marilyn padamu.”

Eunhee terkesiap. Raut kesal yang semula tampak di wajahnya mendadak sirna, berganti dengan pipinya yang bersemu. Dia menggemaskan sekali kalau sudah begini. “Maaf, aku… aku… mendadak sakit perut. Ya, sakit perut. Jadi terburu-buru pulang.”

Sakit perut? Aku berdecak. “Lagi pula, kau kan bisa meminta kunci cadangannya pada resepsionis?”

“Aku… tak bisa bahasa Italy,” Eunhee menjawab tapi ia masih belum mau memalingkan wajahnya padaku lagi. Dalam hati aku terkikik melihat betapa kikuknya Eunhee.

“Dia juga berbicara bahasa Inggris, Nona!” Aku mendengus sambil terus berdecak. “Jangan katakan kalau bahasa Inggrismu juga buruk, padahal kau bisa memesan vodka pada bartender itu.”

Eunhee terlihat kebingungan. Kepalanya berpaling ke sana ke mari dan bola matanya berputar cepat. Sedangkan salah satu kakinya bergerak-gerak ke atas ke bawah. “Aku tak… berbicara banyak pada bartender itu. Dia… dia menawarkan vodka dan—“

“Kau menerimanya?” selaku cepat.

“Begini, aku hanya—“

“Bukankah lebih baik kalau kau pergi ke restoran? Makan Pasta atau Maccaroni untuk mengisi perutmu daripada minum alkohol tanpa ditemani siapapun?”

“Apa itu urusanmu?”

Aku terkejut ketika mendengar suara Eunhee meninggi dan gadis itu sudah berdiri dari tempat duduknya semula. “Nona, kau lupa kalau aku suamimu? Ingat, kau tanggung jawabku selama di sini. Kalau terjadi sesuatu padamu, aku tak mau disalahkan.”

Ekspresi keras di wajah Eunhee memudar. “Baiklah. Aku janji tak akan merepotkanmu lagi,” katanya lalu pergi meninggalkanku sendiri. Entah mengapa, hal itu justru membuatku sakit melebihi saat ia marah tadi.

Aku menghela napas. Haruskah aku membatalkan rencanaku berjalan-jalan di Danau Como? Dugaan Marilyn seratus persen meleset. Eunhee hanya sakit perut makanya ia terburu-buru pergi dan mungkin ia tiba-tiba merindukan Woobin saat mengingat rencana mereka untuk berlibur ke Milan. Menyedihkan! Aku bahkan tak memiliki tempat sedikit pun di hatinya. Dan kalau saja aku tahu bahwa kota ini mengingatkan Eunhee pada Woobin, aku akan berpikir seribu kali untuk mengajaknya ke mari.

Kuraih ponselku dan menyambungkannya dengan wifi hotel. Oh, terlambat! Ada kiriman terbaru di kakaotalk dari Marilyn.

Oppa, aku menunggumu di Lobby. Kalau kau tak segera turun, aku yang akan naik ke kamarmu.

Sial! Dia bersemangat sekali kalau soal Louise Vuitton dan gaun Dolce Gabbana. Tidak. Kurasa aku tak perlu memberinya gaun Dolce Gabbana. Karena kini aku tak butuh bantuan darinya lagi.

Setelah dengan enggan memberitahu Eunhee untuk segera bersiap karena beberapa menit lagi harus berangkat ke Danau Como, aku sendiri mulai bersiap-siap. Aku sudah membalas kiriman Marilyn. Dan meminta gadis itu membatalkan rencana semula. Awalnya Marilyn menolak dan ngotot kalau dugaannya tak mungkin salah, tapi akhirnya adik sepupuku itu menyerah juga. Walau aku sedikit curiga karena ia memilih untuk tetap ikut. Well, sebenarnya tidak masalah. Mungkin dengan kehadiran Marilyn bisa memperbaiki suasana hati Eunhee yang pagi ini terlihat sangat buruk setelah pertengkaran konyol kami.

Aku memakai T-shirt lengan pendek berwarna putih dan sebuah jaket kulit hitam, jins hitam dan juga topi hitam. Well, tidak terlalu mencolok tapi nyaman. Kulirik Eunhee yang baru saja keluar dari kamar. Ia pun tampak santai dengan T-shirt lengan panjang berliris horizontal putih dan hitam, rok pendek selutut berwarna putih dan sebuah tas tangan. Memang bukan tas tangan merk terkenal seperti yang biasa dipakai Marilyn atau Eomma, tapi itu bukan masalah.

15227_409541679144457_1377298983_n

“Ayo, kita berangkat,” kataku tapi anehnya Eunhee masih tak bergeming di tempatnya. “Ada masalah? Kau tidak mabuk darat juga, kan?”

Kulihat Eunhee terus memandangiku dari atas hingga bawah. Apakah ada yang salah dengan penampilanku? Kenapa sepertinya dia terkejut sekali melihatku berpakaian begini.

“Hee, kau kenapa—“

“Aku ganti baju du—“

“Hey, untuk apa kau ganti baju lagi?” Aku menyela tak sabar. Marilyn bisa marah-marah kalau terlalu lama menunggu di Lobby. Lagi pula, penampilan Eunhee tak ada yang salah. Kenapa ia harus mengganti pakaiannya?

“Aku…”

“Ayolah! Seseorang sedang menunggu di bawah. Kalau kau terlalu lama, dia bisa marah.”

“Seseorang?” Mata Eunhee melebar. Entah mengapa aku sedikit terhibur melihatnya begini.

Tanpa menjelaskan lagi, aku langsung keluar dari kamar dan berjalan menuju lorong. Kudengar langkah Eunhee mengikuti di belakangku.

“Lee Donghae, kau belum menjawab pertanyaanku,” katanya sambil terus mensejajari langkahku. Aku hanya tersenyum saja dan masuk dalam lift.

***

“Oppa, aku di sini!” Kulihat Marilyn yang memakai blus maroon yang dipadukan dengan denim selutut dan kacamata coklat besar melambai padaku. Aku bisa merasakan lirikan Eunhee yang berdiri di sampingku.

“Kau mengajaknya juga?” Samar-samar aku mendengar Eunhee bertanya.

“Yeah, dia memaksa ikut. Jadi kuajak saja. Kau keberatan?” Sejenak aku merasa bahwa apa yang dikatakan Marilyn benar saat menyadari tatapan kesal Eunhee, tapi beberapa detik kemudian semua itu sirna saat Eunhee menampilkan senyum terbaiknya.

“Sama sekali tidak. Aku senang bisa bertemu dengannya lagi. Ah, aku lupa mengatakannya padamu. Aku dan Marilyn sudah berkenalan.”

Aku melongo dan hanya bisa menganga ketika kulihat Eunhee mendahuluiku untuk menghampiri Marilyn. Kedua gadis itu saling menyapa dan terlihat sangat akrab. Aku bertukar pandang dengan Marilyn dan berkata melalui isyarat mataku ‘lihat-benarkan-apa-yang-kukatakan?

“Oh, Oppa. Kemarilah!” Aku terkesiap ketika Marilyn melambai padaku dan baru kusadari aku berhenti melangkah bahkan sebelum berada cukup dekat dengan mereka. “Kalian kompak sekali, hmm? Lihatlah! Nuansa Black-and-White. Oh, aku cemburu!” rajuk Marilyn manja sembari melingkarkan lengannya di lenganku tepat saat aku tiba di sisinya. Sial! Apa maksudmu Marilyn? Aku sudah bilang padanya bahwa rencana itu batal, kenapa dia masih—eh? Kurasakan Marilyn menyikut pinggangku dan refleks aku menatap Eunhee yang terlihat agak jengkel. Oh, ya. Aku ingat. Dia sempat mengatakan ingin mengganti pakaiannya. Aku baru menyadari sekarang, kalau ternyata pakaian kami memang cocok.

“Jadi berangkat sekarang?” Marilyn bersuara lagi dan aku nyaris mual mendengar nada merayu dalam suaranya itu. Tak kusangka pengaruh gaun Dolce Gabbana sangat besar. “Aku sudah tak sabar melihat pemandangan Danau Como yang kata sebagian besar orang begitu romantis.”

Aww… sial! Dia menginjak kakiku! “Euumm… oke, kita berangkat sekarang,” kataku sekali lagi melirik Eunhee yang semakin terlihat jengkel. Oh, semoga saja dugaan Marilyn benar!

-Como Lake, Italy-

Lake-Como-Italy_thumb1

Memang benar indah. Perjalanan selama 50 menit dari pusat kota Milan ke Lombardy benar-benar terbayar setibanya kami di sebuah taman bunga indah di pinggir Danau Como. Bukan hanya aku yang terpesona dengan salah satu Danau terkenal di dunia ini, tapi juga Eunhee dan Marilyn yang tak hentinya menyapukan pandangan ke seluruh penjuru taman.

“Oppa, kau lihat benteng itu? Kalau tak salah, benteng itu peninggalan abad ke -19,” Marilyn bersuara, menarik perhatianku dan juga Eunhee untuk mengikuti arah telunjuknya. Tepatnya ke sebuah benteng yang berdiri megah di antara villa-villa penduduk. “Bagaimana kalau nanti kita ke sana?”

“Bukan ide buruk,” kataku sembari tersenyum.

“Eunhee-ssi, kau setuju?” Aku langsung melirik Eunhee yang sejak berangkat tadi menolak bertatap muka denganku. Ia juga sama sekali tak bersuara saat di perjalanan dalam taksi tadi.

“Baiklah,” balasnya pendek lalu melangkah menjauhiku dan Marilyn menuju pinggir danau.

Aku baru akan mengejarnya ketika Marilyn menarik lenganku. “Jangan dulu, Oppa,” tahannya sambil terkikik. “Lihat! Kau masih tak percaya padaku? Gadis itu diam-diam juga menyukaimu.” Seringai Marilyn melebar ketika mengatakannya.

“Tapi semalam dia masih menyebut mantan kekasihnya saat mabuk. Bukankah kata-kata orang mabuk adalah isi hati terdalam?”

Marilyn mendengus. “Silakan percayai apa yang ingin kau percayai. Percuma aku mengatakannya padamu kalau kau masih mempercayai satu hal yang menurutmu paling benar,” gerutu Mailyn. “ Ingat, aku di sini hanya ingin membantu.”

Aku terkekeh pelan. “Well, membantu dan mendapatkan LV juga gaun Dolce Gabbana impianmu.”

Marilyn mengangkat bahu tak peduli. “Tak ada yang gratis di dunia ini,” katanya lalu berlari meninggalkanku untuk menghampiri Eunhee. Sementara aku mengikuti di belakangnya dalam langkah-langkah santai.

Mencoba untuk mempercayai apa yang dikatakan Marilyn memang sangat menyenangkan. Tapi bila mengingat bagaimana Eunhee menyebut nama Woobin semalam, membuatku ingin sekali meninju mulut besar lelaki itu hingga tersungkur di tanah.

“… bagaimana?” Sayup-sayup kudengar suara Marilyn sebelum akhirnya Eunhee melirik dan untuk pertama kalinya ia menatapku. Wajah gadis itu pucat pasi. Seperti baru saja dihadapkan pada sesuatu yang sulit dan menyakitkan.

“Ada apa?” tanyaku bingung sembari mempercepat langkah lalu menatap Eunhee dan Marilyn bergantian.

“Aku mengajaknya naik ski air, scuba diving dan juga menjelajah danau ini dengan Feri. Tapi sepertinya Eunhee kesulitan memutuskan.”

Aku menghela napas, dan refleks melingkarkan lenganku di pinggang Eunhee. Semoga dia tidak pingsan lagi seperti di Venice dulu. Aku dan Eunhee kabur ke Milan untuk menghindari kendaraan Air di Venice, pasti ia jengah bila harus dihadapkan lagi pada feri dan kawan-kawannya. “Eunhee tak bisa naik transportasi air, Marilyn. Apapun itu.”

“Oh?” Marilyn menganga lalu beberapa detik kemudian dia terkekeh pelan. “Kenapa tak kau katakan sejak tadi?” tanyanya sembari bergurau. “Kalau begitu, kita jalan-jalan di gunung saja, bagaimana? Panjat tebing? Hang gliding?”

“Sepertinya jalan-jalan di gua wisata lebih baik.” Aku mencoba mengusulkan dan kulihat kedua gadis itu akhirnya mengangguk setuju. “Bersabarlah menghadapi Marilyn, Hee. Dia memang suka sekali menjelajah di hutan.”

“Apa katamu, Oppa?” Marilyn bersungut-sungut.

Aku terkikik pelan dan terkesiap merasakan tangan Eunhee yang dingin dalam genggamanku. Sebegitu traumakah dia dengan transportasi air. Hingga dengan memikirkannya saja, Eunhee sudah terlihat sangat ketakutan.

“Aku hanya mengatakan bahwa kau bersaudara dengan Monyet,” gurauku mencoba berkelakar dan kudengar Marilyn mendengus jengkel.

***

Aku menyendok Granita1-ku dan mendesah nyaman saat campuran es, jeruk, susu dan wine itu masuk ke kerongkongan. Siang-siang begini, memang nyaman menikmati minuman dingin semacam Granita. Apalagi kami baru saja mengelilingi gua wisata yang untuk mencapainya saja kami  harus berjalan cukup jauh dan sedikit mendaki gunung. Tapi rasanya puas. Kami seperti berpetualang di alam terbuka.

Siang ini setelah puas berjalan-jalan, aku, Marilyn dan Eunhee memutuskan untuk makan siang di salah satu restoran kecil yang terletak di desa San Felice del Benaco. Tempatnya memang tidak mewah, tapi banyaknya wisatawan yang berkunjung membuatku tak ragu lagi untuk mampir.

Ternyata hasilnya tak mengecawakan. Makanan tradisional Italia di tempat ini memang luar biasa lezat. Ah, aku mulai berpikir untuk menambahkan salah satunya ke daftar menu di kafe-ku.

Sebenarnya aku agak heran. Kupikir setelah menolak tawaran Marilyn untuk mencoba berbagai macam atraksi air akan membuat Eunhee lebih baik, tapi hingga kini gadis itu tetap terlihat pucat. Macaroni keju dalam piringnya pun masih utuh. Tak tersentuh sama sekali. Aku heran. Apa dia masih marah karena aku membawa serta Marilyn dalam perjalanan ini? Tapi, bukankah mereka sudah berteman cukup akrab?

“Hee, kau tidak apa-apa?”

Kulihat Eunhee terkejut dan buru-buru mendongak menatapku. “Baik.”

Lagi. Jawabannya hanya, baik, ya, senang, aku suka, terserah padamu. Ke mana perginya Eunhee yang suka mengomel dan cerewet itu?

“Ehm…” Marilyn berdeham pelan. “Aku ke toilet dulu,” katanya dan aku harus berterima kasih padanya karena memberi kami waktu untuk bicara berdua saja.

“Ada masalah yang mengganggumu?” tanyaku beberapa saat kemudian. Aku yakin ini bukan hanya masalah transportasi air.

Kudengar Eunhee menghela napasnya kasar. Untuk sejenak aku bisa merasakan suasana hening menggelisahkan. “Dia… ada di sini.”

Aku tersentak dan langsung menegakkan punggung. “Siapa?” tanyaku penuh antisipasi. Ini pasti bukan hal biasa. Melihat betapa takutnya Eunhee, ‘Dia’ yang dimaksudkan gadis itu pasti bukan sekedar kenalannya. “Hee?!”

“Mantan kekasihku… Kim Woobin.”

“Apa?” Aku menggertakkan gigi dan mengepalkan kedua tinjuku menahan emosi. Untuk apa dia datang ke mari? Mengacaukan bulan maduku? Oh, ayolah! Aku dan Eunhee sudah menikah. Tak mungkin ia masih berharap Eunhee bisa kembali padanya. “Kau… yakin?”

Kulihat Eunhee mengangguk. “Aku yakin itu dia. Sangat yakin. Tadi aku melihatnya sedang naik Feri di pinggir danau.”

Aku menggeleng pelan. “Kau pasti salah orang,” kataku mulai jengkel. Bisa saja Eunhee hanya mengada-ada. Karena dia terlalu merindukan lelaki itu, hingga semua lelaki jadi tampak sama seperti Woobin. Sial!

“Tidak. Sepertinya, semalam dia juga menghampiriku saat di Lounge.”

Tiba-tiba seperti ditimpa sebuah batu super besar dari puncak bersalju pegunungan Alpen, aku terbelalak lebar. “Kau… tidak sedang berhalusinasi?”

Eunhee bedecak jengkel. “Aku sangat serius!”

Sial! Kim Woobin… Benarkah kau di sini?

TBC

Ket:

[1] : Es serut buah khas Italia

Cuap2: Aaaaaaaaa!!!! Mian klo hasilnya makin aneh! *bow*

86 thoughts on “Just Get Married [Chap 8]

  1. Knpa pesona donghae bsa trlewatkn bgtu saja??hmmm,krg apa it hae..kshan donghae,sm aq aja yaa..ayolah eunhee,jgn sia”kan ikan nemo yg ganteng it..

  2. Wae..???
    Knpa woobin jga hadir..??
    Eunhee bkal mrasa g’ nyaman klo ad woobin *sok tau*
    cuma skedar melihat aja eunhee udah pucat dan kyak ktakutan gtu, gmna klo woobin nyamperin mereka..
    Ayolah bang ikan..
    Buruan nyatakan cintamu, sblum woobin merebut kmbali hati eunhee..

  3. Woobin bnr2 ingin merebut eunhee dr donghae…berarti woobin bnr2 mencintai eunhee tp knp dy selingkuh. Gencatan antara donghae n woobin dh dimulai nieh, lanjut ya

  4. yahhhh.. kok tau2 dh TBC lagii..ckckckck.

    tuh si donghae knp jadi pengecut githu sihh.. ga PD an bgt jadi org.. ga berani jujur sm hee ttg perasaannya. ehmmm.. bikin gemes tau..

    tp di part ini kayanya kurang gregetnya dehh.. ga ada tuh ribut2 mulut sprti biasanya. tau sendiri gmn jaiLnya si ikan..!!
    Next part.. semoga ada perkembangan githu sm hubungan mereka.. masa jalan di tempat mulu sihh.. pan sayang. tempat seromantis githu dianggurin..

    Ny.Leeeeeeeeeee
    FIGHTING

  5. kenapa Woobin pake nyusul segala siCh? merusak bulan madu oramg ajj, aish!!!
    ayolah, kapan mereka mengungkapkan perasaan masing-masing?

    Chingu, kenapa semakin pendek dipart ini? panjangin lagi dong.

  6. Aigoooo.. Itu ngapain woobin pake ikut ke milan juga??
    Mmmmm.. Perasaan mulai ga enak nii..
    Bebeb dongee,, jujur aja dong ama perasaannya ke eunhee.. Biar eunhee bisa netapin hati dan ngelupain woobin secepetnya..

    Eonni,, aku tunggu part selanjutnya..
    #kepo tingkat dewa#

  7. aduuuuhh eunhee sama donghae kapan jadiannya si *eeh kan udah nikah ya* hehe..
    gregetan aku sama donghae kenapa ga jujur aja si.. iiiiiihhh
    semangat eonni bikin lanjutannya, aku selalu menanti 🙂

  8. woobinnya knp ada dimilan jg, bs berantakan rencana2 donghae oppa =__=.. eunhee kyknya msh bngng sm prasaannya ya, dia ngrs cmbru sm donghae oppa tp jg msh blm bs nglupain woobin :-(..

  9. aigooo /,\
    woobin-ah bisakah kau tak menggangu eunhee couple ?? -,-
    ga cape apa jadi lalat mulu?
    udah sama tmn eunhee yg sok cantik itu aja :p

    makasih loh,kak aika udh dipublish 😉
    merluin brapa lama?

  10. aku gregetan jadinya.. hah pusing, si woobin jreng jreng.. MUNCUL LAGI!!!
    mana EunHae ribut mulu lagi,, hohh too bad,, penasaran…

  11. wuaaaaaa kim woobin jelas2 udah berhianat masih aja ngjar2 eunhee eh bnerkan? kkkk donghaeyaaaa semangat dapetin eunheenya!!

  12. annyeong unnie, hahahaa 😀
    akhirnya publish juga yg part 8, fiuhh, nunggu brojolnya sampek lumutan :p *plakk
    waduh, itu si woobin beneran nguntit sampek ke milan segala??
    demi patrick star *ikut2an authoe 😀
    lanjut deh unn, hehehe 😀

  13. fufufu~ aku datang~~~

    lhaa itu jadinya si mey dikira siapa sama eunhee?? masa iya selingkuhan gak tau malu ngikut acara honeymoon orang?? puahahahaa :p

    ckckck… woobin-ah~ makanya pas masih memiliki jangan disiasiakan.. dah ilang baru ngejar-ngejar -__-
    tapi dy munculnya dari cerita2 si eunhee doang yak.. kirain bakal dimunculin wujudnya gitu..

    jangan2 ntar woobin ketemuan ama sumey, trus sumeynya naksir?? hoakakkkkkkk

    gak aneh kok lee.. dan gak dikit juga rasaku.. dikitan per-chap ff-ku kali…

    • Hoakakakakkkkkkkkkk…. Pan mereka gak nikah beneran Song. Jadi gpplah ada selingkuhan terang2an :p
      Sabar Song, ntar juga muncul kok :p
      Iyakah? Syukur deh hehe

  14. annyeong ~

    baru sempet baca ^^ agaknya ini cerita bakal semakin panjang,, itu woobin kenapa ngikut ke milan -.-” tapi selalu suka sama ceritanya, berasa.nonton drama 🙂

  15. haaahhh…
    woobin ganggu aja, malesi og!!!
    donghae jga gtu npa g langsung jujur aj? kan lebih plong, lanjutanny bnykin ya eonnie n jgn lma” ya eon!

    keep writing!!

  16. bener tuh kata merilyn ‘jgn tarik ulur perasaan istrimu’ . Ayolah bang donghae show your love , nanti eunheenya dibawa kabur woobin keke . Cepet2 ya next partnya thor , keep writinggggg *lambai2 brng hyuk*

  17. Huaaaaaa,,,,,,makin seru!!!!
    Itu kenapa si woobin gangguin bulan madunya eunhae????
    Padahal berharap hub mereka membaik di Milan,,tapi kayanya masih biasa aja ya,,,ayolah Hae,bilang aja yg jujur sama hee#kecupHae

    boleh request ga saeng????
    Klo bisa banyakin lagi dong adegan romantisnya si hae ama hee*puppyeyes*yayaya,,,,,
    next part oen setia menanti 😉

  18. Woobin nekat gitu ya? Hmm~ sudahlah jodohkan saja dia dengan sih marilyn yg shopaholic itu .-. Hihihiih eunhee jealous? Really? Hmm~ hae kenapa jaim gitu ya? Part nya hyukjae mana kaaaa 🙂 haha kangen {} wkwk

  19. Huuaaa, menjengkelkan sekali uda asyik2 bulan madu knpa hrus ada Woobin -_-
    nggak sbar pngen liat kemesraan Eunhee dan Donghae, kpan mreka bisa hidup tenang dan tanpa byang2 mantan kekasih Eunhee 😀
    Next part ditnggu, makin penasaran aja ^^

  20. aahhh….jeongmal MIANHAE eonni,ru smpet bca gr2 uts T.T
    tp q sk dpt hburan stlh uts,:)
    q kira kau sdh brubah hae,trnyta msh tetap babo -.- *hehe
    awalny q sk lucu bngt eon,trs kshn jg ma hae wktu hee ngmg soal woobin pdhl q kira gr2 cmburu,tp agk lega jg wktu tw trnyt gr2 woobin dsitu jd mrh lg dh si hee,,
    eonniii….q bnr2 kshn ma hae,kpn nih eon dksh titik trang kl hee sk ma hae,biar hae g nelangsa(?) dg prsaan dan prsepsi na sndri????dtmbh skrg woobin dtng lg,eeerrrrr…..>.<#bakar woobin

  21. Woobin ngikutin mereka?
    Omona..
    Gemes deh sama Donghae & Eunhee hehe
    Udah gitu makin seru lagi konfliknya..
    Next part ditunggu:D

  22. annyeong, aku reader baru…. salam kenal.
    aku suka tulisannya chingu….
    aku gak ada masalah ama kedekatan EunHee+DongHae dan kemunculan si WooBin, itu bisa jadi bahan buat diolah di part selanjutnya #alah ngomong apa coba#
    tapi pliiiissssss….. Give EunHyuk something part, misalnya EunHyuk tiba – tiba nongol di milan juga karena kangen ama DongHae, tapi malah falling in love ama Marilyn.
    kayaknya Marilyn yg Shopaholic cocok ama EunHyuk yang pelit.
    #reader banyak maunya#

  23. hwaaa~
    gregetan bacanya…
    Kpn sih si ikan tampan itu mw jujur…??
    Mian, stlah baca 8 chapter bru tinggalkn jejak.. Kkk~
    satu kata bwt authornim.. DAEBAK…

  24. huwaaaa Woobin woobin woobin… kenapa dia lagi ….
    semoga dugaan Hee salah…
    haiiish… kenapa Hee gak jujur aja kalo gak nyaman ada Marlyn…

  25. Woobin masih ngemis cintanya eunhee ? Sampe nyusul ? Bakalan ada perang dunia ke III antara donghae sama woobin 🙂
    Eunhee kembalilah ke woobin,serahkan donghae padaku. Hahah 😀

  26. lempar woobin kekutub..
    ngapa dia ke milan jugakkk??
    aish eonn jangan membuatku semakin ingin mencekek woobin..
    mau menghancurkan bulan madu eunhae, eoh???

    huwaaaaaaaaaa…. buruan ke chap 9..
    #caaaoooooooo

  27. Oh! Tidak! Kesel juga kalo udah ada nama ‘Woobin’. Napa Hee nyebut dia lagi sik? Kkkk. Iyadeh, ngerti lah kalo sama mantan pasti masih ada rasa, wkwk. Tapi bete juga.

    Hee gimana sih? Katanya gak mau gengsi karena menahan diri? Haha 😀 ayo! Buang gengsimu! Tunjukkan gigimu *cling

  28. bner kan dugaan aku klo Marlyn it ad hub kluarga sma Hae…
    Woobin kyaknya emg niat bgt buat rbut hee dari hae,dan smga aj ap yg dblg marlyn bner klo hee cmbru sma dy…

Leave a reply to Amelia wulandari Cancel reply