[OriFict] Second Door -Chapter 14-

CHAPTER 14

 

 Second Door

 

 

Kulepas peganganku pada brangkar dan membiarkan perawat-perawat itu membawa Min Hee masuk ke UGD. Lututku lemas dan kubiarkan diriku jatuh terduduk di kursi tunggu pasien ketika pintu geser UGD tertutup. Melalui sudut mataku, kulihat eomma juga melakukan hal yang sama. Tiga hari ini, Min Hee demam tinggi dan mengeluh dadanya sakit. Kondisinya semakin memburuk hingga kami memutuskan untuk membawanya ke rumah sakit tempatku bekerja.

Mungkin terdengar aneh. Tapi aku memang tidak sanggup bila harus memeriksanya sendiri dengan pikiran sekalut ini. Benar kata orang bahwa seberapa hebat pun dokter itu, bila yang sakit adalah orang terdekatnya sendiri tidak mungkin sanggup untuk ikut memeriksanya. Sekarang, aku malah duduk seperti orang bodoh. Membiarkan adik kandungku sendiri diperiksa di UGD.

“Eunhee-ya, katakan bahwa Min Hee baik-baik saja.”

Aku menoleh cepat. Menatap eomma yang kini membenamkan wajahnya di atas telapak tangan. Kepala eomma tertunduk lalu detik berikutnya bahunya berguncang hebat. Rasa sakit yang pekat menyergapku. Aku menggeser dudukku mendekatinya. Membiarkan eomma melampiaskan kepedihannya dalam dekapanku. Sementara cairan hangat itu juga mengaliri pipiku.

Entahlah. Mungkin mudah bagi seseorang yang tidak mengerti dunia kesehatan untuk mengatakan Min Hee baik-baik saja. Tapi, terdengar lucu bagi diriku sendiri sementara aku tahu ada yang tidak beres dengannya. Semenjak Min Hee mengeluhkan dadanya sakit, pikiranku langsung tertuju pada jantung dan paru-parunya. Bagaimana bila antibodi itu telah menyerang ke bagian sana? Bagaimana bila organ-organ penting itu terserang dan terjadi kerusakan yang amat parah? Aku benar-benar tidak sanggup memikirkannya. Jantung dan paru-paru begitu penting bagi kelangsungan hidup manusia.

“Eun Hee-ya, kenapa diam saja?”

Aku mengerjap pelan ketika kudengar suara eomma. Sungguh, aku ingin mengatakannya. Aku ingin menenangkan eomma dengan mengatakan Min Hee baik-baik saja. Tapi, bibirku terlalu kaku untuk bergerak. Seperti ada yang menggembok dan membuang kuncinya jauh-jauh ke dasar samudera.

Min Hee, kumohon bertahanlah!

Cepat, kuhapus lelehan air mata yang mengalir turun di pipiku ketika kulihat Mae Ri keluar dari pintu UGD. Dan senyum penuh simpati di wajah bulat Mae Ri sedikit memberiku kekuatan.

“Bagaimana?” Aku sendiri tidak bisa mengenali suaraku yang bergetar. Mae Ri memintaku duduk kembali di kursi. Ia lalu menatapku dan eomma bergantian. Tampak kesulitan untuk membicarakan apa yang diketahuinya. Oh, ayolah! Cepat katakan apa yang harus kau beritahu pada kami.

Setelah sekian lama Mae Ri hanya diam dan menggenggam tanganku begitu erat. Ia akhirnya menatapku. Dalam. Tepat di fokus mataku. Seolah dengan tatapannya saja, aku bisa mengerti apa yang ingin dikatakannya.

“Persis seperti dugaanmu, Eun Hee-ya.”

Seperti dihempaskan ke dasar jurang yang terjal, nyeri menyakitkan menjalari sekujur tubuhku. Sakit. Aku tidak sanggup menahan air mataku untuk tetap di tempatnya. Tetes-tetes bening itu meluncur bebas membasahi pipiku. Aku sesak. Seolah ada gumpalan besar yang tumbuh di tenggorokan.

Jadi benar dugaanku sebelumnya, bahwa… antibodi-antibodi jahat itu telah menyerang organ penting Min Hee. Demi Tuhan! Kalau saja aku dapat menggantikan posisinya. Aku rela.

“Tapi… bagaimana bisa? Bagaimana bisa itu terjadi? Min Hee tidak pernah lupa mengkonsumsi obatnya, dan ada aku yang selalu mengingatkannya.” Tanpa sadar aku berteriak, masih tidak memercayai apa yang baru saja kudengar.

“Tenanglah, Eun Hee-ya.”

Aku menggeleng kalut dan buru-buru menepis tangan Mae Ri yang kini menyentuh pundak kiriku. “Kau menyuruhku untuk tenang?” Beranjak berdiri, aku melangkah ke UGD. “Mereka bohong. Obat-obat itu sama sekali tidak membantu!”

“Eun Hee-ya.”

Langkahku terpaksa terhenti ketika bahuku ditahan. Mae Ri lebih tinggi beberapa senti dariku, jadi ia mudah saja melakukannya. “Tolong jelaskan kenapa itu bisa terjadi? Kenapa?” pekikku pedih. Rasanya ada sebuah tali yang mencekik leherku hingga terasa sesak.

Kurasakan lengan Mae Ri menarikku mendekat, hingga kini kami berpelukan. Air mataku kembali turun. Tangisku bahkan lebih keras dari sebelumnya. Aku tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada Min Hee sesaat lagi. Benar-benar tidak sanggup.

“Menangislah. Jika itu bisa membuatmu tenang.”

Di tengah isakanku, samar, kudengar suara Mae Ri. Dekapannya semakin erat di tubuhku. Otomatis pertahanan diriku runtuh seperti vas bunga yang pecah setelah dihempaskan dari tempat yang tinggi. Hancur berkeping-keping. “Mae Ri-ya, katakan itu tidak benar.”

 

***

 

Kemungkinan besar stres beratlah yang memicu penyakit itu kambuh lagi. Memang, beberapa waktu lalu dokter yang memeriksa Min Hee berpesan agar ia dijauhkan dari faktor-faktor pemicunya termasuk stres. Karena itulah, aku selalu berusaha menenangkan Min Hee jika dia sudah mulai mengeluh tentang segala hal. Namun perang dingin yang terjadi beberapa hari lalu di rumah, tidak dapat dihindari. Tentu saja itu memengaruhi kondisi Min Hee. Ia stres dan membuat antibodi—si musuh dalam selimut—mulai mengeluarkan aksinya menyerang paru-paru Min Hee.

Aku mendesah panjang lalu mengusapkan telapak tanganku ke wajah. Setelah diperiksa di UGD, Min Hee dibawa ke ruang ICU agar bisa mendapatkan penanganan intensif. Kutatap kaca besar yang melapisi ruang ICU di depanku. Siapapun pasti tidak akan tega melihat tubuh gadis sekecil dan semungil itu berada di antara selang infus, tabung oksigen dan lima elektroda di dada yang tersambung langsung pada monitor detak jantung.

Eomma sedang menunggui Min Hee di dalam, setelah beberapa saat sebelumnya aku keluar untuk menemui dokter Jang. Dokter yang dulu merawat Min Hee.

Kepalaku berdenyut sakit mengingat semua penjelasannya. Harusnya aku bisa membawa Min Hee lebih awal jika tidak disibukkan dengan pekerjaanku yang semakin menyita waktu. Jadi, kerusakan di paru-parunya tidak akan separah ini.

Tadi aku juga telah menghubungi Jong Hee. Semoga saja dia mau datang dan bisa memperbaiki hubungannya dengan eomma. Masalah ini sudah cukup berat dan sangat menyakitkan, tidak perlu ditambah lagi dengan keegoisannya.

Kupejamkan mata dan bersandar pada dinding di belakangku. Tiga puluh menit lagi aku harus kembali bekerja. Hanya saja, aku tidak tahu apakah aku masih bisa menjalankan tugasku dengan benar bila kondisinya begini? Appa, katakan padaku apa yang harus kulakukan?

“Eun Hee-ssi, kau tidak apa-apa?”

Aku terkejut merasakan sepasang tangan menahan tubuhku. Ketika akan beranjak dari kursi tunggu pasien, aku merasakan kepalaku berat dan nyaris saja aku tersungkur di lantai jika tangan besar itu tidak segera menahanku.

Dia. “Jung Seung Ho? Apa yang kau lakukan di sini?”

Lelaki itu tersenyum muram. “Mae Ri mengabariku kalau adikmu sakit. Bagaimana kondisinya?”

Mae Ri. Aku mendengus. Ya, tidak diragukan lagi dia pasti akan melakukannya. “Buruk,” balasku lugas dan kudengar helaan napas panjang Seung Ho.

“Kalau begitu, sebaiknya kau makan dulu.” Lelaki itu menggiringku agar kembali duduk di kursi. “Kondisi adikmu buruk, bukan berarti kau juga harus memperburuk kondisi tubuhmu sendiri dengan tidak mau makan apapun.”

Kuangkat wajah untuk menatapnya. Dia begitu baik padaku. Beberapa kali kutolak, tapi dia masih saja mau menolongku di saat seperti ini. Pantaskah aku menyakiti hatinya?

“Terima kasih banyak, Seung Ho-ssi.”

Dia menggeleng galak. “Aku tidak butuh ucapan terima kasihmu,” katanya tegas. “Sekarang, ikut aku ke kantin. Kau harus makan!”

 

***

 

“Tidak terjadi patah tulang. Kurasa, pasien bisa rawat jalan.” Kumasukkan hasil rontgen[1] itu kembali ke amplop cokelat besar pembungkusnya. Lalu menatap bergantian wajah-wajah lelah timku yang terdiri dari dua orang dokter umum, seorang perawat dan seorang dokter konsulan. Baru saja ada pasien kecelakaan, dan aku mendapat giliran untuk memeriksa kondisinya.

“Kau yakin?” Dokter Kim—ketua tim kami—bertanya untuk memastikan.

“Saya yakin, Dokter. Lengan anak itu baik-baik saja—“

“Apa kau sudah menanyakan lagi bagian mana saja yang kemungkinan terjadi fraktur?” sela Dokter Kim dingin.

Aku diam. Mengingat apa saja yang telah kulakukan tadi. Lalu beberapa detik kemudian, menggeleng. “Tadi… saya memeriksa bagian yang dikeluhkan si pasien.”

“Pemeriksaan menyeluruh itu penting.” Dokter Kim meraih stetoskopnya. “Sebaiknya kau istirahat, Dokter Song. Kondisimu belum siap untuk menangani pasien.” Pria paruh baya itupun menatap Jung Min—perawat di tim kami—dan berkata. “Kirim pesan para Radiologist untuk me-rontgen dadanya. Kudengar dari ibunya kalau anak itu duduk di depan dan ada kemungkinan mengalami benturan.”

Demi Tuhan! Kurasakan keringat dingin sebesar biji jagung, menetes di keningku. Bagaimana bisa aku seceroboh ini? Menggampangkan pemeriksaan, sama halnya dengan kelalaian!

Jeosonghamnida[2], Uisanim,” sesalku, tapi dokter Kim sudah tidak mendengarkanku lagi. Ia berjalan bersama tim-ku. Melanjutkan memeriksa pasien.

Aku menunduk menatap sepatuku yang kini melangkah masuk ke ruang loker. Dalam hati memaki diri sendiri yang telah bertindak tolol. Dokter Kim benar. Bagaimana bisa informasi seperti itu tidak aku tanyakan? Bila benar terjadi benturan di dada dan menyebabkan sesuatu yang berbahaya di kemudian hari, sama saja itu dengan malpraktik. Demi Tuhan! Seharusnya aku tidak memaksakan diri bekerja dalam kondisi seperti ini. Eun Hee bodoh! Itu nyawa manusia, bukan mainan!

Kuhela napas berat lalu mendudukkan diri di kursi yang tersedia di sana. Mataku menatap jauh melalui jendela kecil yang mengarah langsung pada taman rumah sakit. Bagaimana aku bisa begini bodoh? Jika saja tidak ada dokter Kim yang mengingatkan, aku tak bisa membayangkan bagaimana nasib pasien itu?

Pengambilan keputusan di awal amat penting untuk menentukan tindakan selanjutnya. Bila salah, bisa dipastikan keputusan selanjutnya juga demikian. Setidaknya, seperti itulah pesan profesor Min ketika menjelaskan teori diagnosa pada kami.

Aku tersenyum pahit. Seperti ini pula kejadian yang menimpa appa beberapa tahun silam, dan aku tolol dengan membiarkan hal seperti ini terjadi lagi. Mungkin aku memang tidak lebih pandai dari tupai dengan membiarkan diriku jatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya, justru di saat aku ingin membuktikan bahwa aku mampu melakukannya dengan baik. Miris.

Aku berdiri, lalu melepas jas praktikku dan kujejalkan dalam tas, bahkan tanpa dilipat lebih dulu. Pikiranku kalut. Terlalu banyak yang terjadi hari ini dan itu semua membuat kepalaku sakit. Setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, aku berjalan gontai melewati lorong rumah sakit yang lengang. Sebaiknya aku menggantikan eomma menjaga Min Hee.

“Kau tidak dengar apa yang dikatakan dokter Kim tadi?”

“Tentu saja aku dengar.”

Bisik-bisik dari belakang, kontan menghentikan langkahku. Cepat, aku bersembunyi di balik ceruk kecil di depan gudang farmasi. Kudengar langkah-langkah kaki itu semakin dekat.

“Bukankah aku sudah mengingatkanmu untuk berhati-hati bila bekerja bersamanya. Sudah semestinya sifat anak tidak akan jauh dari Orangtuanya. Dan benar itu terjadi, kan?”

“Ya, kau benar. Kasus itu sudah lama berlalu. Untung saja ada dokter Kim yang mengingatkan. Jika tidak, bisa-bisa kasus seperti itu terulang lagi.”

“Yeah, begitulah. Menjaga adiknya saja tidak becus, bagaimana dia mampu mengobati orang lain?”

Mataku memanas seperti ada seseorang yang menusukkan jarinya dengan sengaja ke sana. Perih. Sesuatu yang kelam di sudut terdalam hatiku rasanya terbakar. Aku tahu siapa ‘dia’ yang mereka maksud walau tidak secara langsung menyebutkan nama. Dari suaranya, sepertinya itu Hyo Jin dan In Sung. Dua rekan dokterku yang dulu juga satu kampus denganku. Well, aku sadar kejadian di UGD beberapa saat lalu pasti akan mengundang komentar negatif yang lain. Apalagi mereka memang seolah menanti aku melakukan kesalahan. Setelah itu, dengan kejamnya mereka akan menggunakan semua itu sebagai alat untuk menjatuhkanku.

Oh, berhentilah berpikiran buruk, Eun Hee-ya.

Aku menarik napas, menahannya selama beberapa detik hingga kurasakan pasukan oksigen baru memenuhi paru-paruku, lalu menghembuskannya perlahan. Kulihat kedua gadis itu melewati ceruk tempatku bersembunyi tanpa menyadari kehadiranku di sana. Sebenarnya aku ingin menampar mereka berdua dan menendangnya hingga tersungkur di lantai. Tapi bila melakukan itu, apa bedanya aku dengan mereka? Lantas bisakah pukulan dan tendangan itu menghapus semua pendapat miring tentang diriku? Jawabannya, tidak.

“Satu-satunya cara, agar dapat membalas selentingan miring itu, adalah dengan menunjukkan bahwa kau mampu. Kau bisa melakukannya dengan baik. Jika perlu, jadilah lebih baik dari mereka yang selalu menggunjingkanmu.”

Kupejamkan mata mengingat kata-kata Jang Hyuk Oppa dulu. Bila sedang terpuruk karena gunjingan miring orang-orang, dialah yang selalu menarikku kembali agar bisa berdiri tegak di atas kedua kakiku. Jang Hyuk Oppa-lah satu-satunya tempatku bersandar, hingga aku mampu menyelesaikan pendidikan dokter selama 5 tahun meski setiap harinya terasa begitu berat. Namun sekarang, pria pemilik tubuh tegap itu sudah tidak ada. Aku kehilangan arah dan rasanya tidak sanggup untuk kembali tegak.

Kuraih ponselku dalam tas, menatap wallpaper yang hingga kini masih dihiasi senyum tampan itu. Bantu aku, Jang Hyuk Oppa. Aku tidak tahu harus mengadu ke mana lagi. Jong Hee kabur dari rumah, kondisi Min Hee semakin parah, dan sekarang… aku membuat kesalahan besar yang dapat berujung pada kondisi terburuk dalam pekerjaanku. Siapapun, katakan padaku apa yang harus kulakukan? Aku hancur, benar-benar hancur.

Choi Wook Gi, tidak bisakah kau ke mari dan membantuku?

“Hallo, Eun Hee-ya? Ada apa?” Tersentak bingung, aku menatap tidak percaya ponselku yang kini menampilkan foto Wook Gi dan symbol ‘calling’ di sana. “Hey Eun Hee-ya, kau masih di sana?

Astaga! Tidak sengaja, ketika memikirkan Wook Gi, aku men-dial nomernya!

 

[1] Pemeriksaan penunjang dalam menegakkan diagnosis suatu penyakit, seperti Rontgen Kepala, Sinus, Tulang, Paru-paru.

[2] Mohon maaf (Formal)

5 thoughts on “[OriFict] Second Door -Chapter 14-

Leave a comment